|
Tan Malaka |
Setelah hampir
20 tahun (1922-1942) dalam masa persembunyian dan pengasingan di beberapa
negara Tan Malaka kembali ke Indonesia pada pada tahun 1942 namun Tan Malaka masih dalam penyamaran dan
belum mengungkapkan jati dirinya yang asli. Ilyas Husein adalah nama samaran
yang dipakainya. Pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri
menyebabkan Tan Malaka merasa masih perlu menyembunyikan identitasnya.
Untuk menutupi
identitasnya, Tan Malaka bekerja di perusahaan tambang batubara milik perusahan
swasta Sumitomo, di Bayah Kozan, Banten. Tidak lama kemudian, Tan Malaka
dipercaya memimpin KUPP (Kantor Usaha Prajurit Pekerja). Dengan jabatan ini Tan
Malaka berusaha memperbaiki nasib romusha
dengan mendirikan poliklinik, dapur umum, dan perkumpulan olahraga dan hiburan.
Melalui itu juga Tan Malaka menanamkan sikap patriotosme dan nasionalisme di
kalangan romusha. Kemudian dari situ
Tan Malaka mengkoordinir kekuatan-kekuatan pemuda dengan menciptakan kerja sama
antara pekerja Bayah Kozan dengan Peta-Heiho. Sedangkan jabatannya juga naik
menjadi ketua BP3 (Badan Pembantu Prajurit Pekerja) (Djalinoes. 1987:157).
Pada tanggal 15
September 1945, Tan Malaka mengusulkan untuk melakukan suatu gerakan
demonstrasi uji kekuatan (krecht-proef)
yang bertujuan memisahkan dan mengetahui kekuatan kawan dan lawan. Walau usulan
tersebut sempat mendapat dukungan namun mendapatkan somasi dari Jepang maka
demonstrasi tersebut tidak mendapat dukungan termasuk dari Presiden Soekarno
dan Moh. Hatta (Malaka,2008:163).
Aksi
revolusioner Tan Malaka bersama kelompok pemuda adalah melakukan mobilisasi
masa besar-besaran bersama gerakan pemuda menteng 31 dan disusul oleh gerakan
pemuda dari bebagai daerah melakukan mobilisasi besar-besaran. Aksi masa yang
sampai 200 ribu tersebut yang
dikumpulkan di lapangan Ikada (Ikatan
Atletik Djakarta) untuk menunjukan dukungan para pemuda terhadap pemerintahan
republik Indonesia dan siap melawan segala ancaman yang datang, dan siap
membantu pelucutan senjata tentara jepang yang masih ada di Republik Indonesia
(Poeze, 2008:84).
Pada 19
September 1945 dalam semangat revolusioner masa rakyat kecil berduyun–duyun berpawai
mengahadiri rapat raksasa untuk mendengar pidato Bung Karno di lapangan Ikada,
Jakarta. Mereka tidak lagi merasa takut terhadap kepungan bala tentara Jepang
(Toer, 1997:161-162). Rapat raksasa amat perlu dilakukan untuk menggambarkan
bagaimana RI memiliki legitimasi sosial-politik dengan cara mempertemukan
langsung rakyat dan pemerintah, selain itu juga sebagai perwujutan kesiapan
rakyat dan pemuda untuk mendukung kemerdekaan Indonesia secara penuh yang telah
di Proklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Dalam desakan
para pemuda selaku kepala pemerintahan di Republik Indonesia, Soekarno
mendatangi kumpulan masa yang terjadi di Ikada untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan termasuk konflik yang bakal timbul dengan tentara jepang yang
sudah menjaga sekeliling Ikada dengan pasukan lengkap. Soekarno menyampaikan
pidatonya walau denga hasil yang tidak memuaskan, isi pidato sebagai berikut ;
“Saudara-saudara,
kita akan tetap mempertahankan proklamasi kemerdekaan kita. Kita tidak mundur
satu patah kata pun. Saya mengetahui, bahwa saudara-saudara berkumpul di sini
untuk melihat Presiden saudara-saudara dan untuk mendengarkan perintahnya. Nah,
apabila saudara-saudara masih setia dan percaya kepada Presidenmu, ikutilah
perintahnya. Pertama, pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang
ini juga dengan tertib dan teratur, dan tunggulah berita dari para pemimpin di
tempatmu masing-masing. Sekarang, bubarlah, pulanglah saudara-saudara dengan
tenang”
(Sinar Harapan edisi 16 Agustus 2014).
Pidato Soekarno sebagai anti klimaks
dari revolusi besar yang telah direncanakan sebelumnya dan bukan cerminan
semangat perjuangan dan membiarkan tawaran rakyat yang ingin ikut berjuang
dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagi Tan Malaka apa yang dilakukan Soekarno
tidak mencerminkan masa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Seperti tujuan utama dari rapat raksasa ini adalah jalur penghubung antara
rakyat dan pemerintah, termasuk kesiapan rakyat Indonesia dalam mendukung dan
mempertahankan proklamasi kemerdekaan berdasarkan arahan pemerintah. Masa aksi
seperti inilah yang di harapkan Tan Malaka sebagai pendukung utama kemerdekaan
Indonesia.
Kelebihan Masa
aksi dibanding dengan yang lain menurut Tan Malaka adalah, perjuangan bisa
terjaga, kedua adalah untuk memperlihatakan kekuatan terhadap musuh. Dengan
Masa aksi dimungkinkan sedikit terdapatnya korban dalam sebuah aksi-aksi yang
dilakukan walaupun terkadang pengorbanan itu diperlukan dalam sebuah revolusi.
Untuk dapat menjamin bahwa Masa aksi itu bisa berhasil sesuai dengan tujuan
yang digariskan maka diperlukan adanya seorang pemimpin yang revolusioner yang
mempunyai kecakapan dan ketangkasan dalam memimpin serta mempunyai pengetahuan
praktis tentang politik, ekonomi dari negeri serta psikologi diri. Selain itu pemimpin
dapat memanfaatkan situasi yang terjadi dalam masyarakatnya untuk diambil
menjadi sebuah keuntungan (Andiriadi, 2011:130-131).
Keberadaan Tan
Malaka semakin menjadi sorotan sejak tiga pekan setelah proklamasi, Sayuti
Melik diberi tugas khusus oleh Soekarno untuk mencari Tan Malaka dan berhasil
mempertemukan Tan Malaka dan Soekarno pada 9 September 1945, di kediaman
Soeharto dokter pribadi Soekarno. Dalam pertemuan itu Soekarno menyampaikan
mengenai keinginanya yakni jika nanti terjadi pada dirinya hingga tidak mampu
memimpin revolusi, Tan Malaka ditunjuk sebagai sebagai penerus tongkat
revolusi. Kesaksian itu ditulis Sayuti Melik dalam kolom sekitar Testmen untuk
Tan Malaka, yang dimaut di harian Sinar Harapan, September 1979 (Tempo
2008:15).
Testement adalah
bentuk kekahwatiran Soekarno mengenai perjuangan yang harus dihadapi bangsa
Indonesia dimasa revolusi, apa lagi keinginan kuat Belanda untuk kembali
berkuasa atas Indonesia. Testament yang diajukan Soekarno ternyata tidak
mendapat persetujuan dari Hatta yang menyertakan nama Sutan Sjahrir dari
kelompok kiri-tengah dan Wongsonegoro sebagai wakil kalangan kanan dan feodal,
serta Soekiman sebagai representsi kelompok Islam. Tan Malaka sendiri
mengatakan bahwa sedikit pun hal tersebut tidak mempengarui perasaanya, paham
dan sikapnya tentang revolusi Indonesia (Malaka, 2008:112).
Hal tersebut
sangat wajar, karena sesungguhnya dengan tidak adanya transparansi
Soekarno-Hatta mengenai keberadaan testament tersebut menjadi tidak berarti,
karna hanya diketahui oleh orang-orang yang terlibat dalam pembuatannya saja.
Namun hal ini menjadi pisau bermata dua, berarti keberadaan testmen tersebut
menjadi beredar, akan tetapi tanpa kepastian yang jelas (Poeze, 2008:225-227).
Tan Malaka juga melihat dari peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, mengeambil
kesimpulan mengenai ketidak samaan antara kemauan rakyat dan pemerintah dalam
revolusi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, sikap yang benar dalam mendapatkan sebuah kesimpulan untuk menetukan
sikap dan tindakan dalam Revolusi Indonesia adalah menyelesaikan permasalahan
dalam masyarakat dengan Dialektika. Kedua, memakai tafsiran Materialisme dalam
melihat perubahan sejarah dan bukan dengan tafsiran Idealisme. Ketiga, semangat
pemeriksaan serta penyelesaian soal masyarakat serta sikap dan tindakan yang
didasarkan kepada kesimpulan itu haruslah semangat kemajuan yang revolusioner.
Selanjutnya
menurut Tan Malaka untuk menguji mengenai benar atau salah sebuah kesimpulan,
sikap dan tindakan maka haruslah didasarkan pada golongan yang berkepentingan
itu:
1.
Dalam soal
Revolusi Nasional, apakah bangsa yang terjajah berjuang untuk membela
kemerdekaannya itu sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala
lapangan hidupnya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama.
2.
Dalam hal
Revolusi Burjuis, apakah klas Burjuis yang tertekan oleh klas feodal dalam
masyarakat tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat burjuis sesungguhnya
mendapatkan kekuasaan bagi penindas-pemeras kaum proletar dan untuk membela
kaum burjuis.
3.
Dalam hal
Revolusi Proletar, apakah klas proletar sanggup melepaskan dirinya dari pemeras
tindakan burjuis (Feodalis) dan mendirikan masyarakat yang Sosialistik yang
menuju ke arah komunisme ( Malaka, 2007 : 91).
Tafsiran
tersebut penting sekali untuk diteliti, karena hal itu berkaitan dengan masalah
revolusi di Indonesia. Tafsiran tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap
pilihan taktik dan strategi dalam Revolusi.
Menurut
Tan Malaka para pejuang Indonesia yang jauh dari jangakauan Soekarno-Hatta
dapat lebih berhasil dalam merebut milik asing. Kekecewaan juga muncul ketika
para pejuang Surabaya yang sudah berhasil mengepung para serdadu Inggris-Sekutu
yang bersenjata lengkap justru harus di berhentikan oleh para pemimpin Jakarta.
Sebelumnya tentara sekutu yang sebelumnya hampir kalah justru berbalik memukul
mundul tentara RI dan kemudian menguasai Surabaya. Keraguan juga muncul akan
kemampuan Soekarno-Hatta terhadap agresi dari pihak asing dan memimpin Revolusi
Indonesia (Malaka, 2008:147).
Situasi politik
di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaanya berada dalam situasi yang tidak
terkendali. Pemerintahan yang diwakili oleh KNIP tidak dapat berbuat banyak,
karena walaupun telah merdeka, pemerintah dalam praktiknya seolah-olah tidak
ada dan tidak berfungsi. Kemerdekaan yang di proklamirkan tidak berarti banyak
di kalangan pemerintahan yang masih menunggu kepastian dan dukungan Japang
mengenai kemerdekaan Indonesia.
Menurut Anderson
(1988:195), selama sepuluh minggu pemerintahan soekarno, perkembangan yang
terjadi di Jakarta tidak dapat mengimbangi peristiwa-peristiwa yang lebih
dramatis di daerah-daerah. Di kalangan pemuda Jakarta, aktivitas revolusioner
menegakkan kekuasaan republik juga menjadi terhambat dengan kedatangan Sekutu,
sehingga menghalangi pemuda Jakarta mendapatkan persenjataan Jepang dengan
jumlah yang mencukupi.
Pertempuran yang
terjadi di daerah-daerah, dipicu oleh NICA (Netherlands-Indies Civil
Administration) yang membonceng sekutu,
setelah mempersenjatai kembali anggota-anggota KNIL yang baru dibebaskan
dari tawanan Jepang. Untuk menegakan kembali supermasi Belanda atas Indonesia.
Pertempuran terjadi di Magelang, Ambarawa, Medan dan sebagainya, dengan
puncaknya di Surabaya. Hal tersebut menyebabkan Sekutu menyatakan bahwa
Indonesia berada dalam kondisi tidak aman. Menurut Marwawi (1993: 121-123),
dalam konflik tersebut, terdapat empat kekuatan yang saling Tarik menarik
yaitu, Sekutu, NICA, pemerintah RI dan rakayat revolusioner. Sekutu secara
politis bersikap netral, namun dalam praktiknya beraplisiasi dengan NICA.
Belanda melalui NICA bertujuan menegakan kembali supermasinya di Indonesia.
Pemerintah RI tidak mampu mengkordinasi kekuasaanya di daerah hingga barisan
rakyat bersama pemuda dalam bentuk laskar dan badan perjuangan secara sporadis
menegakan kekuasaan republik di daerah masing-masing.
Dalam situasi
tersebut pemerintah RI sebagai kekuasaan yang sah atas Indonesia memunculkan
suatu upaya penyelesaian konflik dengan melakukan jalan yang dapat diterima
oleh kedua belah pihak, pemikiran itu dipengaruhi oleh pemikiran Syahrir
melalui brosurnya Perjuangan Kita.
Hal tersebut didukung oleh Hatta yang menegaskan Indonesia berada dalam ruang
lingkup sistem kapitalis dan demokrasi, oleh karena itu perjuangan memperoleh
kedaulatan dan pengakuan secara internasional harus dijalani dengan cara
mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa (Sjahrir,1999:43-50). Namun
untuk menyelesaikan konflik tersebut Indonesia yang menggunakan sistem
presidensial dan kepertaian tunggal harus mampu meyakinkan Sekutu bahwa
Indonesia bukan kolabolator jepang atau negara fasis buatan Jepang.
Ketidak
percayaan atas kerja Kabinet Soekarno tidak mampu melakukan konsolidasi
kekuasaan republik secara nyata dikarenakan tidak adanya program dan rencana yang jelas dari pemerintah. Hal
tersebut dimanfaatkan Syahrir melalui BP-KNIP mendesak dan memenangkan program
politiknya (Malik, 1982: 89). Atas desakan itulah kemudian muncul maklumat 1
dan 3 November 1945. Maklumat 1 November menyatakan bahwa pemerintah RI akan
mengembalikan samua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik asing yang
telah dikuasai pemerintah. Maklumat 3 November menyatakan bahwa pemerintah
menyukai berdirinya partai-partai politik. Implementasi politik maklumat 3
November adalah peralihan sistem presidensial menjadi parlementer dengan
Syahrir di tunjuk sebagai Perdana Mentri.
Munculnya ketiga
maklumat tersebut sangat sejalan dengan pemikiran Syahrir yaitu memperkuat
organisasi negara Indonesia secara demokrasi dan memperbesar kepercayaan dunia,
yaitu bahwa Indonesia mampu mengatur negara dan rakyat dengan tidak
mengecewakan hubungan ekonomi, politik, dan kebudayaan dengan luar negeri
(Sjahrir,1999:50). Dengan demikian dimulai jalur perjuangan diplomasi
pemerintah RI.
Namun
ternyata apa yang terjadi haluan rakyat dengan pemerintah sangat berlainan,
bahkan bertentangan. Pengakatan Syahrir pada 14 November 1945, dengan kebijakan
berunding dengan Belanda dan pengembalian kembali milik asing sesuai dengan
maklumat November 1945. Tan Malaka menentang kebijakan Syahrir, kemudian
menulis tiga brosur yang menjadi acuan dasar pemikiran dan pergerakanya dalam
persatuan perjuangan, yaitu Politik, Rencana Ekonomi Berjuang dan Muslihat (Tamin, 1965:17).
Berdirinya Persatuan
Perjuangan
Melihat
dibeberapa wilayah di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
kesiapan semua rakyat untuk menjaga Proklamasi kemerdekaan, Mengingat juga
perpecahan yang terjadi antar partai seperti, gesekan antara kaum sosialis dan
partai-partai Islam di wilaya Pekalongan, Cerbon dan Periangan. Maka dengan
sendirinya Tan Malaka pada kesimpulan, perlunya mengkoordinir semua partai,
tentara, laskar dan badan yang pecah belah untuk menentang diplomasinya
Belanda, yang dibantu oleh tentara Inggris yang besenjata lengkap
(Malaka,2008;158).
Menurut Anderson
(1988:318-319), kemunculan Tan Malaka di media yang ditulis oleh Moh. Yamin (Berita Indonesia, Rabu 26 Desember 1945)
sangat tepat, yaitu di saat kekecewaan-kekecewaan terhadap pemerintahan Sjahrir
telah timbul. Nama Tan Malaka dipersiapakan oleh pemuda sebagai tokoh yang
dapat mempersatukan kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Sjahrir.
Mulanya
konferensi pembentukan Persatuan Perjuangan dimaksud diadakan di Malang pada
Bulan pada bulan Desember 1945, setelah Surabaya ditinggalakn oleh kelaskaran
dan ketentaraan. Tetapi karena perwakilan banyak berada di wilaya Jawa Barat
dan mengingat waktu yang ditentukan tidak bias sampai di Malang, maka
konperensi yang direncanakan di Malang di batalakan. Dan Tan Malaka memili
berangkat ke Cirebon untuk menjumpai para wakil organisasi yang ada pada masa
itu.
Pertemuan
pertama bersama para wakil organisasi dari berbagai daerah di Jawa akhirnya
dapat dilaksanakan di Demak Idjo, dekat Yogyakarta pada tanggal 1 Januari 1946.
Baru pada tanggla 3-5 Januari dapat diadakan Kongres Persatuan Perjuangan Pertama di Purwokerto, yang dihadiri
oleh 138 Organisasi (Malaka,2008:161). Disana Tan Malaka menyampaikan pidato Situasi Politik Luar dan Dalam Negeri.
Yang berisikan mengenai situasi dunia dan perjuangan apa yang tepat bagi
Indonesia. Kongres ini adalah langkah awal untuk membahas pemebentukan
Persatuan Perjuangan (PP) yang akan dibahas di kongres berikutnya.
Kemudian pada
15-16 Januari 1946 dilangsungkan kembali Kongres Rakyat di Surakarta, yang
diahadiri oleh 141 organisasi, yang menghasilakan pembentukan Persatuan
Perjuangan (Nasution, 1979:69). Disanalah juga 7 (tujuh) pasal Minimum Program
di paparkan sebagai acuan dasar perjuangan. PP menjadi kekuatan oposisi yang
besar terhadp pemerintahan Sjahrir, karena semua organisasi besar yang utama
telah bergabung dalam PP, hanya pemerintah sendiri kekuatan terbesar diluar PP.
Salah satunya
adalah dukungan dari Panglima tertinggi militer Indonesia, yakni Jenderal
Sudirman memberikan sambutan dan mendukung Minimum Program perjuangan yang
dihasilkan pada kongres Persatauan perjuangan yang semakin memberikan
kepercayaan diri dan dukungan terhadap PP. Penggalan pidato Jenderal Sudirman
pada kongres Persatuan Perjuangan :
Saudara-saudara
yang siap sedia membela Kemerdekaan 100 persen! Saya sangat gembira atas
terbentuknya Volksfornt yang berani bertanggung jawab atas itu. Kedudukan dan
kewajiban tentang yang saja pimpin adalah mempertahankan kemerdekaan 100 persen.
Tentara timbul tenggelam dengan negara.
Pemimpin-pemimpin
negara boleh berganti, cabinet boleh berganti 3 kali dalam sebulan, tetapi
tentara tetap berjuang terus sampai 100 persen, kemerdekaan tercapai.
Tenatara
berjuang terus dengan rakyat membela tanah air.
Lebih baik di atom sama sekali daripada tidak merdeka
100 persen
(Poeze, 2009:216).
Pada
perkembangannya, Persataun Perjuangan menjadi organ perjuangan yang sangat di
perhitungkan termasuk oleh pemerintah. Bahkan setelah kongres di Solo yang
mendapat publikasi pers yang sangat besar. Pada saat yang sama pula KNIP
menyatakan dukungannya terhadap Minimum Program yang diusung Persatuan
Perjuangan dan mengusulkan menjadi program pemerintah.
Perkembangan
Persatuan Perjuangan berkembang pesat disebabkan oleh beberapa hal, pertama
kharisma Tan Malaka sebagai tokoh pergerakan lama dan dukungan oleh
pemuda-pemuda militan menteng 31. Kedua, kelemahan cabinet Sjahrir, yang hanya
terpaku pada partai sosialis, dan program kabinet yang hanya mengandalakan
diplomasi dan perundingan tanpa perlawanan senjata, dan yang terpenting adalah
gelombang pasang Nasionalisme yang makin kuat dikalangan rakyat Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaan RI (Kahin, 1995:216-217).
Melihat
perkembangan kelompok oposisi Persatuan Perjuangan, pemerintah membetuk Barisan
Nasioanal yang di prakarsai oleh Partai Sosialis, yang bertujuan menggalang
kekuatan untuk memperluas demokrasi dan diplomasi. Namun Barisan Nasional tidak
dapat berjalan bahakan tidak mampu menyaingi perkembangan Persatuan Perjuangan
(Anderson, 1988:321). Bahkan suara Partai Sosialis dan Pesindo sebagai
pendukung utama Sjahrir juga mendukung PP.
Keberadaan PP
dan dukungan partai-partai yang juga tergabung dalam KNIP mempengarui keputasan
pada siding KNIP di Surakarta pada 28 Februari – 2 Maret 1946 membahas usulan
Van Mook, dan berdampak pada pengembalian mandat Sjahrir kepada presiden. PP
mendapatkan kesepatan penyusuanan kabinet. Hasil rapat memutuskan minimum program
menjadi program pemerintah (Malaka, 2008:217). Pemerintah menyetujui hal
tersebut dengan syarat perubahan pada pasal 6 & 7 Minimum Program, Karen
akan berdampak besar bagi posisi Indonesia sama saja menghendaki perlawanan
terhadap semua Imprialis dunia.
Namun permintaan
yang diajukan pemerintah di tolak oleh PP diwakili Sukarni termasuk dalam
penyusunan kabinet. Oleh karena itu Sjahrir kembali di angkat sebagai formatur
kabinet pada siding KNIP 1 Maret 1946. Dan kelompok PP memilih tidak bergabung
dengan kabinet dan berada di luar pemerintahan atau dalam arti sebagai oposisi
pemerintah (Nasution 1979:77).
Kabinet Sjahrir
II membentuk kabinet yang lebih resperatif dan mengeluarkan 5 pasal yang
merupakan upaya mengkonsolidasi Minimum Program PP dengan Program Pemerintah
(Reid, 1996:156). Namun PP tetap melakukan oposisi terhadap pemerintahan,
perpecahan mulai muncul dari tubuh PP mengingat pasal Minimum Program yang
terlalu berat dan juga dari anggota PP yang cenderung bergabung hanya untuk
menjatuhkan pemerintahan Sjahrir sebelumnya.
Beberapa
organisasi yang bergabung dalam PP seperti PSI, Gerakan Rakyat Indonesia, Buruh
Tani Indonesia, Partai Katholik justru mulai berbalik mendukung pemerintah
Sjahrir. Bahkan Masyumi mengirimkan M Natsir sebagai menteri. Sudirman yang
awalnya sangat mendukung Persatuan Perjuangan mulai menjaga jarak terhadap
gerak dan tindakan yang dilakukan PP.
Perpecahan dalam
tubuh PP menguntungkan pemerintah, karena manuver yang di lakukan PP berbahaya
bagi kelangsungan perundingan yang akan dilakukan Indonesia dan Belanda.
Berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan yang dijabat Amir Syarifudin dan Dr.
Sudarsono selaku Menteri dalam Negeri di rencanakan penagkapan terhadap
pimpinan PP seusai kongres di Madiun.
Pimpinan-pimpinan PP seperti Tan Malaka, Sukarni, Abikusumo dan Moh.
Yamin ditangkap pada 17 Maret 1946 dan disusul penangkapan Chaerul Saleh pada
20 Maret 1946 (Anderson, 1988:358). Sebelum tertangkap para Pimpinan PP
sebelunya tertahan di Madiun sehabis kongres oleh Laskar Pesindo yang
sebelumnya bergabung sebagai anggota PP dan selanjutnya memilih keluar dari PP.
Menurut Anderson (1988:361), penangkapan yang
dilakukan terhadap pimpinan-pimpinan PP cukup janggal. Tokoh-tokoh yang
berperan dalam jatuhnya kabinet Sjahrir I seperti Wali Al Fatah, Sukiman dan
Sarmadi tidak ditangkap. Keberadaan PP bagi Pemerintah adalah hambatan bagi
kelangsungan dan program-program Kabinet Sjahrir II. Penagkapan terhadap pucuk
pimpinan PP juga berperan bagi kelangsungan PP dan makin membuat PP terpecah
dan posisinya sebagai oposisi pemerintahan mengalami kelumpuhan akibat konflik
internal dan kepentingan para anggota.
Pada 5 Mei 1946,
dibentuk koalisi baru sebagai penerus PP yang dinamakan Konsentrasi Nasional
dan banyak anggota PP bergabung dalam Konsentrasi Nasional, namun berdasarkan
rapat 26 Mei 1946, badan ini memtuskan untuk berada di belakang pemerintah atau
dalam arti tidak dapat melanjutkan aksi oposisi PP. kehilangan banyak anggota
membuat PP lumpuh, akhirnya pada 4 Juni 1946 PP dibubarkan akibat tidak ada
tumpuk pimpinan yang tepat memimpin PP (Nasution, 1979:231).
Keberadaan Tan
Malaka dalam PP perjuangan secara de facto hanya sebagai panitia
perumusan tindakan apa yang perlu diambil dalam pelaksaan minimum program
bersama sepuluh anggota lainya seperti Ibnu Parna, Wali Al-Fatah, Sukirman,
Abdul Majid, Sudirman, Atmaji, Sugiyono, Osman dan Nyoto Mangkusarkoro yang
secara kedudukan adalah sederajat. Namun Tan Malaka adalah mastermind atau
pionir gerakan PP, tidak dapat di pungkiri keberadaan Minimum Program dan
gerakan PP adalah buah fikir dari Tan Malaka, atau dapat diartikan pengaruhnya
sangat besar terhadap sikap politik PP.
Tan Malaka juga
digambarkan sebagai tokoh atau perlambang bagi kaum oposisi, selayaknya Sukarno
dalam pemerintahan sebagai gambaran pimpinan sejati bagi Bangsa Indonesia.
Keberadaan Tan Malaka sangata dibutuhkan oleh PP karena mampu mempersatukan
banyak kelompok untuk menjadi bagian pendobrak kebijakan pemerintah yang
dianggap merugikan dibawah naungan PP menjadikan kaum oposisi menjadi
perhitungan berat bagi kebijakan Pemerintah.
Pentingnya sosok
seperti Tan Malaka dalam tubuh PP dapat terlihat ketika Tan Malaka beserta
tokoh-tokoh PP lainnya di tangkap pada 17 Maret 1946, kekuatan PP seperti
lenyap dan tidak mampu menggempur pemerintah mereka seperti kehilangan simbol
perlawan dan pemersatu. Mengingat PP adalah organisasi federal bebas yang
disatukan oleh kesamaan kepentingan perjuangan, sehingga dibutuhkan program
pemersatu (Minimum Program) dan orang yang dapat mempertahankan persatuan
tersebut.
|
harian
Kompas tanggal 4 Juli 1985 |
Peristiwa 3 Juli
1946
Penangkapan Tan
Malaka beserta Pimpinan-pimpinan lain PP pada 17 Maret 1946 sempat menuai
konflik, mengingat tidak ada alasan yang jelas penangkapan mereka. Selain itu
juga perundingan antara Indonesia dan Belanda yang sebenarnya akan diadakan
pada 14-25 April 1946 di Hooge Veluwe dan kemenangan partai Konservatif dalam
pemilu Belanda 17 Mei 1946, kekawatiran perubahan haluan politik dan kebijakan
pemerintah Belanda dari perundingan kemungkinan terjadi serangan militer oleh
Belanda (Anderson, 1988:413).
Kegagalan Hooge
Veluwe juga mumunculkan anggapan bahwa terdapat kekhawatiran masyarakat Belanda
mengenai situasi radikal dan revolusioner yang timbul di Jawa, dan menjadi
hambatan utama penyelesaian masalah diplomatik. Sjahrir adalah tokoh paradoksal
dalam konflik ini antara tetap melanjutkan perundingan dengan Belanda dan
bersiap tindakan oposisi yang semakin radikal dan revolusioner atau berpihak
pada oposisi berarti siap melawan militer Belanda terhadap RI.
Bocornya isi
ulasan balasan Sjahrir kepada Van Mook pada 17 Juni 1946 yang berisikan Sjahrir
siap menerima pengakuan kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatera saja (Anderson,
1988:416). Mendengar konferensi yang diperjelas wakil presiden, Moh. Hatta membuat
tokoh-tokoh oposisi seperti Buntaran, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Chaerul
Saleh dan beberapa lainya melakukan pertemuan namun tidak menenghasilakan
keputasan kongkret dan langkah yang akan diambil atas keputusan yang diambil
Sjahrir dan pemerintah.
Selanjutnya
Mayjen Sudarsono dan A.K. Yusuf membicarakan itu untuk membuat keputusan soal
penangkapan Sjahrir. Rencana berlajut setelah diketahui kedatangan Sjahrir di
Surakarta sebelum melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur. Dan penangkapan Sjahrir
dilakukan pada 27 Juni 1946 pada malam hari dan kemudian dibawa ke Paras,
sekitar 35 Km dari Surakarta di lereng Merbabu.
Pada 28 Juni
1946 atas usulan Amir Syarifudin, mengambil dekrit istimewa atas pengambil
alihan kekuasaan sementara. Sukarno menyampaikan pidato pada 30 Juni 1946 yang
menyerukan pembebasan terhadap Sjahrir. Setelah Sjahrir dalam keadaan aman,
pada 1 Juli 1946 dikeluarkan surat penangkapan terhadap tokoh-tokoh oposisi
yang diduga terlibat, yaitu Subarjo, Buntaran, Buddhyanto, Sayuti Melik, Moh. Saleh,
Pandu Kartawiguna, Surip Suprapto, Sumantro, Joyopranoto, Suryodiningrat,
Marlan, Chaerul Saleh, Adam Malik dan Ibnu Parna (Nasution, 1979:346). Pada 3
juni 1946, Mayjen Sudarsono, bersama Moh. Yamin dan 14 tahanan politik tersebut
datang keistana presiden, untuk menyampaikan maklumat pernyataan pembubaran
kabinet Sjahrir II, pembetukan Dewan Pimpinan Politik yang akan memiliki
kewenangan politik tertinggi dan pembetukan kabinet baru.
Mengetahui
keterlibatan Tan Malaka dalam peritiwa ini, pertama Tan Malaka bukan orang yang
ikut dibebaskan bersama 14 tahan politiknya oleh Mayjen Sudarsono. Kedua
berdasarkan kesaksian yang disampaikan dalam dari Penjara ke Penjara III,
peristiwa itu terjadi dan ia berada di penjara Tawamangun, dan ia baru
mendengar kabar penculikan Sjahrir baru pada 5 Juli 1946 melalui berita di
Radio (Malaka, 2008:192).
Kesempatan
diambil pemerintah berita penculikan Sjahrir digunakan sebagai cara meredam
gerakan oposisi dari kelompok Tan Malaka. Dalam pengumuman resmi pemerintah
peristiwa 3 Juli adalah sebuah kudeta yang gagal dari Tan Malaka (Nasution,
1979: 350). Status penahanan Tan Malaka, Abikusumo dan Sukarni tidak jelas
sejak 17 Maret hingga 3 Juli 1946 penagkapan mereka tidak jelas dan kemudian 3
juli tuduhan dialihkan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.
Sampai pada
sidang Mahkama Agung tentara selesai pada 19 Februari 1948, Tan Malaka tidak
mendapat tuduhan sebagai pelaku kudeta, melainkan mendapat tuduhan sebagai
pelaku yang menjalakan gerakan oposisi illegal (Malaka, 2008: viii-ix).
Sepertinya Pemerintahan berusaha terus memenjarakan Tan Malaka dengan berbagai
tuduhan untuk tetap menjaga setabilitas hubungan diplomasi yang sedang
dibangaun antara Indonesia dan Belanda.
Banyak elemen
organisasi yang mendukung Tan Malaka, seperti Gerakan Revolusi Rakyat (GRR),
menuntut pembebasan Tan Malaka. Namun Tan Malaka mengatakan bahwa ia tidak
ingin bebas tanpa tanpa pemeriksaan. Jika Tan Malaka tidak terlibat maka
pemerintah harus mengakui kesalahnya. Sedangkan tokoh-tokoh yang juga ditangkap
pada 3 Juli dibebaskan pada 17 Agustus 1948. Sedangkan Tan Malaka baru
dibebaskan pada 16 September 1948 karena tidak lagi terdapat cukup alasan untuk
melanjutkan penahanan.
Muncul juga
interpretasi lain atas pembebasan Tan Malaka setelah 30 bulan, pembebasan Tan
Malaka berkaitan untuk menandingi gerakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) PKI yang
semakin berkembang, terutama setelah kembalinya Musso pada Agustus 1948 dan Tan
Malaka akan menjadi sayap kiri tandingan terhadap pergerakan dan kedudukan FDR.
Namun bagi Tan Malaka apa bila FDR-PKI menggunkaan kekuatan untuk melawan
Belanda kelompok Tan Malaka siap membantu, namun apa bila jika FDR-PKI
melakukan upaya merobohkan pemerintah kekuasaan republik yang sah, maka
kelompok Tan Malaka akan mendukung pemerintah dan menumpasnnya (Malaka,
2008:xx-xxi). Dalam arti pembebasan yang dilakukan pemerintah tidak mempengarui
terhadap sikap dan tidakanya untuk RI.
Bagi Tan Malaka apa yang dialami selamah 30
Bulan bukan suatu hal asing baginya setidaknya sudah 3 kali Tan Malaka dalam
tahanan masa pemerintahan kolonial (1922, 1927 dan 1932). Pembebasan Tan Malaka
ibarat dalam pepatah : “Berapapun
cepatnya kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga”. Semangat
revolusinya tetap menggaung walau di dalam tahan dalam tahanan itu juga Tan
Malaka mengahasilkan karyanya juga yang nantinya menjadi pedoman bagi perang
gerilya yang dilakukanya pada masa agresi militer Belanda II.
PUSTAKA
Anderson, Ben. 1988. Revolusi Pemuda. Jakarta: Pustaka Harapan.
C, M Rickefs. 2007. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Dekker, Nyoman. 1989. SejarahRevolusi Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka
Fa’al, FM 2005, Negara danrevolusisosial: pokok-pokokpikiran Tan
Malaka,Resist Book, Yogyakarta.
Gie, SoeHok. 2005. Orang – orang Dipersimapang Kiri Jalan.Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Jervis, Halen. 1987. Tan Malaka: Pejuang Revolusi atau Manusia Murtad. Jakarta: Yayasan Massa.
Kahin, Gorge MC Turan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Pustaka Harapan.
Kansil, C.S.T &Julianto. 1988. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.Jakarta :Erlangga.
Kutoyo, Sutrisno. 2004, Prof. H. Muhammad Yamin SH. ; Cita–cita dan Perjuangan Seorang Bapak Bangsa. Jakarta : Mutiara Sumber Widya
Legge. J.D 1993. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan; Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta: PustakaUtamaGrafiti
Loebis, Aboe Bakar. 1992. Kilas Balik Revolusi Kenangan, Pelaku dan Saksi. Jakarta : UI Press.
Malaka, Tan 2008, Dari Penjara Ke Penjara III (EdisiKhusus 63 Tahun RI), Jakarta : LPPM Tan Malaka
__________ 2000. Geriliya Politik Ekonomi, Yogyakarta :Jendela
__________ 1962, Menuju Republik Indonesia, di lihat tanggal 23 Januari 2014 http://www.marxist.org.
___________ 2010, Madilog: materialisme, dialektika, dan logika, Penerbit NARASI, Yogyakarta.
____________ 2005, Muslihat : Merdeka 100 persen. Tanggerang: Marjin Kiri.
_____________ 1987. Surat Kepada Rakyat. Jakarta: Yayasan Massa.
____________ 1987, Thesis. Jakarta: Yayasan Massa.
____________ 1987. Uraian Mendadak. Jakarta: Yayasan Massa
Malik, Adam. 1982. Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Widjaya
Mani, P.R.S. 1998. JejakRevolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 Jilid1 : Dari kebangkitan Nasional sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, A. H. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid III: Diplomasi sambil Bertempur. Bandung : DISJARAH-AD &Angkasa.
_______________ 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid IV: Agresi Militer II. Bandung : DISJARAH-AD &Angkasa.
Poesponegoro, Marwati Djoned. Dkk. 1993. SejarahNasional Indonesia Jilid VI. Jakarta :BalaiPustaka.
Poeze, Harry A. 2000, Tan Malaka ;Pergulatan Menujuh Republik 1897-1925, Jakarta : PT Temprint
______________2008, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.Jakarta :YayasanObor Indonesia
Reid, J.S Anthony, 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ricklefs. M.C. 2005. Sejarah Indonesia Moderen.Yogyakarta : UGM Press
Sjahrir, Sutan. 1999. Perjuangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49
Syahputra, Febby. 2011. Perbandingan Strategi Perjuangan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan 1945-1949. Bandung: Repository.UPI.edu