Juni 21, 2012

Ilmu Filsafat & Filsafat Sejarah Dalam Kacamata Islam

Apakah itu Filsafat ?

Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi yang sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau orang yang berdiri di puncak yang tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya di alam semsta yang ditatapnya.
Dalam filsafat terdapat tiga karakteristik berfikir : karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh, seorang ilmuwan tidak lagi puas mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri, ia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dia ingin tahu apakah ilmu itu membawa kebahagiaan bagi dirinya.
Karakteristik berfikir filsafati yang kedua adalah sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar, mengapa ilmu itu bisa di sebut benar? bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut di lakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari satu titik, yang awal pun yang sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar ?
Karakteristik berfikir filsafat yang ketiga yaitu sifat spekulatif. Kita akan mulai timbul kecurigaan terhadap filsafat : bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan ? dan seorang filsuf akan menjawab : memang, namun hal itu tidak bisa dihindarkan, menyusur sebuah lingkaran kita harus memulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spkulatifnya. yang penting adalah dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang bisa di andalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah meletakkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis ? apakah yang disebut benar ? apakah yang disebut sahih ? apakah hidup ini ada tujuanya atau absurd? adakah hukum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan ?
Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dari spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang diatas kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.
Ilmu dan Filsafat
Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang bijak,”Coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!”
Filsuf itu menarik napas panjang dan berpantun :”Ada orang yang tahu di tahunyaAda orang yang tahu di tidaktahunyaAda orang yang tidak tahu di tahunyaAda orang yang tidak tahu di tidaktahunya””Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar ?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.”Mudah saja !” jawab filsuf itu, ”ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.
Sudut Pandang Terhadap Filsafat
Terdapat tiga sudut pandang dalam melihat Filsafat, sudut pandang ini menggambarkan variasi pemahaman dalam menggunakan kata Filsafat, sehingga dalam penggunaannya mempunyai konotasi yang berbeda. Adapun sudut pandang tersebut adalah :
Filsafat sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of thought)Filsafat sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life)Filsafat sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat sebagai metode berfikir berarti filsafat dipandang sebagai suatu cara manusia dalam memikirkan tentang segala sesuatu secara radikal dan menyeluruh, Filsafat sebagai pandangan hidup mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam kehidupan baik intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan filsafat sebagai Ilmu artinya melihat filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan sifat suatu ilmu.
Cabang-cabang Filsafat
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang dianggap indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Dan kemudian bertambah lagi yakni, pertama teori tentang ada; tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika, kedua politik:yakni kajian mengenai organissi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, diantaranya:
Epistemology (Filsafat Pengetahuan)Filsafat IlmuEtika (Filsafat Moral)Filsafat PendidikanEstetika (Filsafat Seni)Filsafat HukumMetafisikaFilsafat MatematikaPolitik (Filsafat Pemerintahan)Filsafat SejarahFilsafat Agama
Filsafat sejarah adalah ilmu yang mempelajari perkembangan dan penyebaran hukum-hukum atau dasar-dasar kebangkitan dan sebab-sebab runtuhnya suatu bangsa untuk pergerakan masyarakat dan bangsa-bangsa itu sendiri. Dan bisa dikatakan bahwa filsafat sejarah adalah ‘ibarah atau istilah tentang suatu pandangan terhadap kenyataan sejarah dilihat dari segi filsafat.

Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi.Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya

Falsafat sejarah dalam al-Qur’an

Diisyaratkan dalam al-Qur’an berkaitan dengan filsafat sejarah, dalam surat fushilat ayat 53, yang berarti, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar”
Perkembangan ilmu
Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat islam sudah berdiri sejak kurun ke tiga hijrah atau abad ke sembilan masehi, akan tetapi filsafat sejarah yang merupakan salah satu dari cabangnya baru muncul di abad ke delapan hijrah atau abad ke empat belas masehi dengan seorang ahlinya yang menggunakan istilah falsafat sejarah adalah Ibn Khaldun[2], “yakni ketika dari jauh beliau bermaksud mencatat kejadian-kejadian dengan tidak menghubungkan diantaranya, serta mencari penjelasan tentang sebab-sebab kejadian dalam sejarah”. Kemudian “folter”[3] adalah yang pertama kali menggunakan istilah falsafat sejarah pada kurun ke delapan belas masehi sebelum filsuf-filsuf eropa lainnya.

Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.

Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Filsafat sejarah adalah ilmu yang mempelajari perkembangan dan penyebaran hukum-hukum atau dasar-dasar kebangkitan dan sebab-sebab runtuhnya suatu bangsa untuk pergerakan masyarakat dan bangsa-bangsa itu sendiri. Dan bisa dikatakan bahwa filsafat sejarah adalah ‘ibarah atau istilah tentang suatu pandangan terhadap kenyataan sejarah dilihat dari segi filsafat.
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi.Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya

Falsafat sejarah dalam al-Qur’an

Diisyaratkan dalam al-Qur’an berkaitan dengan filsafat sejarah, dalam surat fushilat ayat 53, yang berarti, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar”
Perkembangan ilmu
Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat islam sudah berdiri sejak kurun ke tiga hijrah atau abad ke sembilan masehi, akan tetapi filsafat sejarah yang merupakan salah satu dari cabangnya baru muncul di abad ke delapan hijrah atau abad ke empat belas masehi dengan seorang ahlinya yang menggunakan istilah falsafat sejarah adalah Ibn Khaldun[2], “yakni ketika dari jauh beliau bermaksud mencatat kejadian-kejadian dengan tidak menghubungkan diantaranya, serta mencari penjelasan tentang sebab-sebab kejadian dalam sejarah”. Kemudian “folter”[3] adalah yang pertama kali menggunakan istilah falsafat sejarah pada kurun ke delapan belas masehi sebelum filsuf-filsuf eropa lainnya.

Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.

Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi.Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya
Falsafat sejarah dalam al-Qur’an

Diisyaratkan dalam al-Qur’an berkaitan dengan filsafat sejarah, dalam surat fushilat ayat 53, yang berarti, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar”
Perkembangan ilmu
Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat islam sudah berdiri sejak kurun ke tiga hijrah atau abad ke sembilan masehi, akan tetapi filsafat sejarah yang merupakan salah satu dari cabangnya baru muncul di abad ke delapan hijrah atau abad ke empat belas masehi dengan seorang ahlinya yang menggunakan istilah falsafat sejarah adalah Ibn Khaldun[2], “yakni ketika dari jauh beliau bermaksud mencatat kejadian-kejadian dengan tidak menghubungkan diantaranya, serta mencari penjelasan tentang sebab-sebab kejadian dalam sejarah”. Kemudian “folter”[3] adalah yang pertama kali menggunakan istilah falsafat sejarah pada kurun ke delapan belas masehi sebelum filsuf-filsuf eropa lainnya.

Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.

Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Falsafat sejarah dalam al-Qur’an
Diisyaratkan dalam al-Qur’an berkaitan dengan filsafat sejarah, dalam surat fushilat ayat 53, yang berarti, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar”
Perkembangan ilmu
Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat islam sudah berdiri sejak kurun ke tiga hijrah atau abad ke sembilan masehi, akan tetapi filsafat sejarah yang merupakan salah satu dari cabangnya baru muncul di abad ke delapan hijrah atau abad ke empat belas masehi dengan seorang ahlinya yang menggunakan istilah falsafat sejarah adalah Ibn Khaldun[2], “yakni ketika dari jauh beliau bermaksud mencatat kejadian-kejadian dengan tidak menghubungkan diantaranya, serta mencari penjelasan tentang sebab-sebab kejadian dalam sejarah”. Kemudian “folter”[3] adalah yang pertama kali menggunakan istilah falsafat sejarah pada kurun ke delapan belas masehi sebelum filsuf-filsuf eropa lainnya.

Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.

Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Diisyaratkan dalam al-Qur’an berkaitan dengan filsafat sejarah, dalam surat fushilat ayat 53, yang berarti, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar”
Perkembangan ilmu
Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat islam sudah berdiri sejak kurun ke tiga hijrah atau abad ke sembilan masehi, akan tetapi filsafat sejarah yang merupakan salah satu dari cabangnya baru muncul di abad ke delapan hijrah atau abad ke empat belas masehi dengan seorang ahlinya yang menggunakan istilah falsafat sejarah adalah Ibn Khaldun[2], “yakni ketika dari jauh beliau bermaksud mencatat kejadian-kejadian dengan tidak menghubungkan diantaranya, serta mencari penjelasan tentang sebab-sebab kejadian dalam sejarah”. Kemudian “folter”[3] adalah yang pertama kali menggunakan istilah falsafat sejarah pada kurun ke delapan belas masehi sebelum filsuf-filsuf eropa lainnya.

Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.

Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Perkembangan ilmu
Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat islam sudah berdiri sejak kurun ke tiga hijrah atau abad ke sembilan masehi, akan tetapi filsafat sejarah yang merupakan salah satu dari cabangnya baru muncul di abad ke delapan hijrah atau abad ke empat belas masehi dengan seorang ahlinya yang menggunakan istilah falsafat sejarah adalah Ibn Khaldun[2], “yakni ketika dari jauh beliau bermaksud mencatat kejadian-kejadian dengan tidak menghubungkan diantaranya, serta mencari penjelasan tentang sebab-sebab kejadian dalam sejarah”. Kemudian “folter”[3] adalah yang pertama kali menggunakan istilah falsafat sejarah pada kurun ke delapan belas masehi sebelum filsuf-filsuf eropa lainnya.

Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.

Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Seperti sudah dikatakan sebelumnya bahwa filsafat islam sudah berdiri sejak kurun ke tiga hijrah atau abad ke sembilan masehi, akan tetapi filsafat sejarah yang merupakan salah satu dari cabangnya baru muncul di abad ke delapan hijrah atau abad ke empat belas masehi dengan seorang ahlinya yang menggunakan istilah falsafat sejarah adalah Ibn Khaldun[2], “yakni ketika dari jauh beliau bermaksud mencatat kejadian-kejadian dengan tidak menghubungkan diantaranya, serta mencari penjelasan tentang sebab-sebab kejadian dalam sejarah”. Kemudian “folter”[3] adalah yang pertama kali menggunakan istilah falsafat sejarah pada kurun ke delapan belas masehi sebelum filsuf-filsuf eropa lainnya.
Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.

Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Lebih jelas lagi bahwa yang pertama kali meletakkan inti dasar ilmu ini adalah orang-orang islam, ketika mereka berjalan dengan petunjuk kitabullah dan memandang ke cakrawala, “maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”( QS An-Nahl: 36), namun kemudian hilanglah bintang peradaban islam, dan digantikan peradaban barat yang meneruskan dan menyempurnakan dalam bahts ilmi ilmu ini.
Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Hukum sejarah menurut filsafat
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.

Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah (sunnatullah fil kaun). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah.
Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)

Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”(QS Ar Ra’d : 11)
Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Filasafat sejarah dan masa depan
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.

Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.
Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.

Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.
Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:

1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.

Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.
Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Perkembangan sejarah tidak perlu diragukan lagi, ia terus menerus berproses menuju kesempurnaannya.. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam. Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Sebagian orang akan bertanya tentang pentingnya belajar sejarah!!! Dan bukankah kita memiliki kitabullah dan sunah rasulullah!! bukankah sejarah hanya masa lalu, sedangkan kita berada di masa sekarang!!

Belajar sejarah adalah untuk perkembangan dan kemajuan manusia di semua segi, baik dari segi politik, sosial, ekonomi, dan pemikiran serta dari segi kerohanian untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

Dan untuk menjawab soal yang kedua, perlu di ketahui bahwa ilmu di dalam kitabullah ‘aza wa jalla dibagi dua:

· Ilmu dalam kitab itu sendiri
· Ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain diluar kitab

Ilmu yang ada dalam kitab -baik itu al-Qur’an atau sunah- adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah ibadah secara khusus, dan berupa perintah dan larangan secara umum yang semua ketentuan-ketentuannya sudah diatur didalamnya.

Sedangkan ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain, tempat pembahasaanya bukanlah dalam al-kitab (al-Qur’an wa sunah). Berkaitan dengan yang kedua ini, Alloh ta’ala berfirman;

“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)

Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
Sebagian orang akan bertanya tentang pentingnya belajar sejarah!!! Dan bukankah kita memiliki kitabullah dan sunah rasulullah!! bukankah sejarah hanya masa lalu, sedangkan kita berada di masa sekarang!!
Belajar sejarah adalah untuk perkembangan dan kemajuan manusia di semua segi, baik dari segi politik, sosial, ekonomi, dan pemikiran serta dari segi kerohanian untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

Dan untuk menjawab soal yang kedua, perlu di ketahui bahwa ilmu di dalam kitabullah ‘aza wa jalla dibagi dua:

· Ilmu dalam kitab itu sendiri
· Ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain diluar kitab

Ilmu yang ada dalam kitab -baik itu al-Qur’an atau sunah- adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah ibadah secara khusus, dan berupa perintah dan larangan secara umum yang semua ketentuan-ketentuannya sudah diatur didalamnya.

Sedangkan ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain, tempat pembahasaanya bukanlah dalam al-kitab (al-Qur’an wa sunah). Berkaitan dengan yang kedua ini, Alloh ta’ala berfirman;

“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)

Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
Belajar sejarah adalah untuk perkembangan dan kemajuan manusia di semua segi, baik dari segi politik, sosial, ekonomi, dan pemikiran serta dari segi kerohanian untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dan untuk menjawab soal yang kedua, perlu di ketahui bahwa ilmu di dalam kitabullah ‘aza wa jalla dibagi dua:

· Ilmu dalam kitab itu sendiri
· Ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain diluar kitab

Ilmu yang ada dalam kitab -baik itu al-Qur’an atau sunah- adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah ibadah secara khusus, dan berupa perintah dan larangan secara umum yang semua ketentuan-ketentuannya sudah diatur didalamnya.

Sedangkan ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain, tempat pembahasaanya bukanlah dalam al-kitab (al-Qur’an wa sunah). Berkaitan dengan yang kedua ini, Alloh ta’ala berfirman;

“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)

Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
Dan untuk menjawab soal yang kedua, perlu di ketahui bahwa ilmu di dalam kitabullah ‘aza wa jalla dibagi dua:
· Ilmu dalam kitab itu sendiri
· Ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain diluar kitab

Ilmu yang ada dalam kitab -baik itu al-Qur’an atau sunah- adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah ibadah secara khusus, dan berupa perintah dan larangan secara umum yang semua ketentuan-ketentuannya sudah diatur didalamnya.

Sedangkan ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain, tempat pembahasaanya bukanlah dalam al-kitab (al-Qur’an wa sunah). Berkaitan dengan yang kedua ini, Alloh ta’ala berfirman;

“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)

Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
· Ilmu dalam kitab itu sendiri
· Ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain diluar kitab
Ilmu yang ada dalam kitab -baik itu al-Qur’an atau sunah- adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah ibadah secara khusus, dan berupa perintah dan larangan secara umum yang semua ketentuan-ketentuannya sudah diatur didalamnya.

Sedangkan ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain, tempat pembahasaanya bukanlah dalam al-kitab (al-Qur’an wa sunah). Berkaitan dengan yang kedua ini, Alloh ta’ala berfirman;

“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)

Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
Ilmu yang ada dalam kitab -baik itu al-Qur’an atau sunah- adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah ibadah secara khusus, dan berupa perintah dan larangan secara umum yang semua ketentuan-ketentuannya sudah diatur didalamnya.
Sedangkan ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain, tempat pembahasaanya bukanlah dalam al-kitab (al-Qur’an wa sunah). Berkaitan dengan yang kedua ini, Alloh ta’ala berfirman;

“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)

Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
Sedangkan ilmu yang menunjukan kepada ilmu yang lain, tempat pembahasaanya bukanlah dalam al-kitab (al-Qur’an wa sunah). Berkaitan dengan yang kedua ini, Alloh ta’ala berfirman;
“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)

Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”(QS Ali ‘imran:137)
Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
Ilmu ini –yang tempat pembahasan dan penelitiannya tentang hukum-hukum atau sunnah-sunnah yang berlaku yakni ketika berjalan di muka bumi dan melihat kepada keadaan-keadaan umat yang lalu– adalah ilmu yang dimaksud dalam pembicaraan ini. Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam lanjutan ayat sebelumnya;
“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)

Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.*dan janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.* jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim”. (QS Ali ‘imràn; 138-140)
Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.
Dari pembahasan diatas yakni pembahasan tentang filsafat dan pembahasan tentang sejarah yang kedua kata tersebut merupakan kata pendukung dari kalimat filsafat sejarah, terdapat titik terang apa itu filsafat sejarah.




Pengertian Filsafat Sejarah


Vitalnya belajar Sejarah

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Blog Themes | Bloggerized by andri pradinata - Gold Blogger Themes | AP14