September 05, 2013

Syech Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak) : Netherland ? kami menyebutnya BELANDA.

Mengapa masyarakat di Nusantara, menyebut Nederland sebagai Belanda? Mungkin orang Nederland sendiri akan bingung menjawabnya…
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, mari kita kembali membuka lembaran sejarah, 360 tahun yang silam…

Mudzakarah Ulama se-rumpun Melayu

Tidak jauh dari kota Palembang, tepatnya di sekitar daerah Pagar Alam, pada tahun 1650 M (1072 H), pernah berkumpul sekitar 50 alim ulama dari berbagai daerah, seperti dari Kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka dan sebagainya.
Tokoh utama pertemuan itu, adalah Syech Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak), salah seorang keturunan dari Sunan Gunung Jati. Trahnya adalah melalui puterinya Panembahan Ratu, yang menikah dengan Danuresia (Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang).
Hasil dari Mudzakarah Ulama abad ke-17, yang dipelopori oleh Syech Baharudin, antara lain:
1. Memunculkan perluasan dakwah Islam. Dengan demikian, paham animisme yang masih berkembang di masyarakat semakin berkurang dan terkikis.
2. Munculnya kader-kader mujahid, yang mengadakan perlawanan terhadap penjajah Eropa.

Dari peristiwa Mudzakarah inilah, munculnya istilah Belanda sebagai sebutan bagi bangsa Netherland, yang menjadi penjajah ketika itu. Adapun makna kata Belanda, berasal dari kata belahnde (belah = memecah, nde = keluarga).
Dan dengan menyebarnya, istilah Belanda ke seluruh pelosok Nusantara, menjadikan bukti bahwa hasil Mudzakarah tahun 1650M telah menjadi satu “Konsensus Nasional“.
Sementara disekitar tempat terjadinya peristiwa Mudzakarah, dinamai semende, yang bermakna satu keluarga (seme = same = sama = satu; nde = keluarga), yang merupakan lawan dari kata Belanda.

Siapakah Syaikh Nurqodim al-Baharudin

Syech Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari Putri Sulungnya Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang. Syech Nurqodim al-Baharudin kecil, beserta ketiga adiknya dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah oleh orang tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang.
Sewaktu remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah beliau menyunting gadis dari Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di kaki Gunung Dempo yang memiliki situs Lempeng Batu berukir Hulu Balang menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah Putih (lihat buku ”5000 tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin). Setelah bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga dan sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi Pusat Daerah Semende.
Menurut salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH Kornawi Yacob Oemar-, dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech Baharudin adalah pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku rumahtangga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga pencetus falsafah ”jagad besemah libagh semende panjang”, yaitu ”Negara Demokrasi” pertama di Nusantara (1479-1850). Akan tetapi ”negara” itu runtuh akibat peperangan selama 17 tahun (1883-1850) malawan kolonial Belanda.
Sebelum ke Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan hidup satu zaman dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di bahagian tengah dan selatan Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa sebelum berdirinya Kerajaan Bintoro Demak memiliki pengaruh di Pantai Utara Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul Auliya, bahwa untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa-yaitu Demak, maka ada 16 orang wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech Baharudin dan beberapa wali dari Pulau Madura.
Dalam musyawarah itu Sunan Giri menginginkan agar dibentuk suatu negara Kerajaan dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja /sulthan dengan alasan negara baru tersebut tidak akan diserbu balatentara Majapahit, mengingat Raden Fatah adalah anak dari raja Majapahit. Konon dari 16 wali tersebut, 9 orang yang mendukung pendapat ini dan tujuh orang yang berbeda pemahaman dalam strategi dakwahnya termasuk Syech Baharudin.
Syech Baharudin (Puyang Awak) menginginkan suatu daulah seperti Madinah al Munawarah pada masa Rosulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan ummat Islam yang kala itu jumlah belum banyak, beliau memutuskan untuk hijrah (melayur) ke Pulau Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung Tua-ujung paling selatan Pulau Sumatera-. Kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu daerah Ketapang-Menggala-Komering-Palembang-Enim dan Tiba di Tanah Pasemah lalu menetap disana tepatnya di Perdipe.
Disepanjang perjalanan, sebagai seorang mubaligh beliau selalu mendatangi tempat-tempat dimana masyarakat masih belum mengenal agamaTauhid dan akhlaqul qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam dengan metode yang sangat sederhana yaitu memepergunakan kultur budaya masyarakat setempat sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat beberapa suku di perdalaman Sumatera Bagian Selatan, Puyang Awak adalah penyebar agama Islam yang sangat kharismatik. Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi terutama sikap beliau yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah.
Di tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola hidup masyarakat sangat jauh dari kehidupan yang islami.Adanya praktek-praktek perbudakan dikalangan masyarakat.Perampokan dan penjarahan bagkan penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari suku-suku lain disekitar Basemah [dalam bahasa basemah disebut ’nampu’] untuk dijadikan budak [dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap suatu kebanggaan. Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan ekor kerbau dan sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan suatu pesta pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan menyembelih puluhan ekor sapi dan kerbau. Untuk menambah ’kebanggaan’ dari keluarga tersebut, maka diumumkan bahwa yang punya hajatan juga akan ’menyembelih seorang pacal’. Suatu bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Kota Mekkah pada zaman nabi Muhammad SAW.
Pola hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan biadab seperti itu, bukan hanya diceritakan kembali secara turun-tumurun dari generasi ke generasi, melainkan tercatat pula pada tulisan-tulisan kuno aksara ka-ga-ngayang dijadikan benda-benda pusaka oleh tua-tua adat dari suku-suku sekitar Basemah, antara lain di daerah Enim. Intinya memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu waspada terhadap kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah harta benda serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain itu Marco Polo [abad12], membuat catatan khusus tentang Basemah yang berbunyi..’Basma, where the people’s like a beast withuot law or religion….’ [basemah, penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan atau agama ]
Puyang Awak yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar, zalim tanpa hukum dan agama tersebut, justru berpendapat bahwa di tanah basemah inilah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH SWTkepada nabi Muhammad SAW, untuk meng-agama-kan masyarakat yang belum beragama.
Akan tetapi perlu kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh Puyang Awak dalam menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak mempergunakan bahasa Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa Pasemah yang cukup dikenal sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga TUNGGUAN [Akhlakul Karimah].

Hubungan Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati

Mengutip dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya didapatkan data sebagai berikut.
Adalah dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau Syaikh Dzathul Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon dan mendirikan Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja Siliwangi tersebut tidak mendapat izin dari sang ayah, maka mereka melarikan diri ke Gunung Jati untuk belajar tentang Islam. Setelah cukup lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh untuk membuka hutan di selatan Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan yang akhirnya menjadi ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal Alang-Alang” dan Pangeran Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra Buana” sertadiangkat sebagai pimpinannya.
Syaikh Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan kepada kedua muridnya tersebut untuk menunaikan haji ke Mekkah dilanjutkan dengan belajar Islam kepada Syaikh Bayanillah. Akhirnya Rara Santang menikah dengan seorang penguasa Mesir keturunan Bani Hasyim yang bernama Sultan Syarif Abdullah-dikenal juga dengan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Rara Santang namanya diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan adiknya Syarif Nurullah.
Setelah Sultan Syarif Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh putra keduanya Syarif Nurullah, karena putra pertamanya Syarif Hidayatullah tidak suka naik takhta dan lebih memilih pulang ke tanah Jawa beserta ibunya untuk mendakwahkan Islam. Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama Senopati Demak Bintoro, yaitu Fatahillah yang melakukan penyerangan dan pengusiran Bangsa Portugis dari Sunda Kelapa.
Sedangkan Pangeran Cakra Buana setelah tinggal tiga tahun di Mesir kembali ke Jawa dan mendirikan negeri baru yaitu Caruban Larang. Prabu Siliwangi sebagai penguasa Jawa Barat telah merestui tampuk pemerintahan putranya ini dan memerinya gelar ”Sri Manggana”.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati telah sampai ke negeri Cina, dimana terdapat undang-undang yang melarang rakyatnya memeluk Islam. Disana beliau membuka praktek sistem pengobatan. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudhu dan sholat. Orang cina kemudian mengenalnya sebagai sinshe dari jawa yang sakti dan berilmu tinggi. Akhirnya banyak diantara penduduknya memeluk Islam, termasuk seorang menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan Kaisar Cina meminta Sunan Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang bernama Ong Tien. Sunan Gunung Jati tidak mau mengecewakan sang kaisar, maka pernikahan tersebut dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa beserta Ong Tien.
Keberangkatannya ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai murid Sunan Gunung Jati, Pai Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan Gung Jati berangat lebih dahulu dan singgah di Sriwijaya karena tersiar kabar bahwa adipati Sriwijaya yang berasal dari Majapahit bernama Ario Damaratau Ario Abdillah (nama Islamnya) telah meninggal dunia. Makam beliau dapat kita lihat sampai sekarang di Jalan Ariodillah Palembang. Sedangkan Ario Abdillah ini adalah anak tiri dari Fatahillah.
Karena kedua putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka Sunan Gunung Jati mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat Pai Lian Bang sebagai adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pai Lian Bang tidak menolak atas pengangkatannya, ia berkata : ”…seandainya bukan Sunan Gunung Jati sebagai guruku yang menyuruhku, maka aku tidak akan mau diangkat menjadi adipati…”.
Dengan bekal ilmu selama menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang berhasil membangun Sriwijaya. Pesantren dan madrasah benar-benar dikembangkannya dan beliau menjadi Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan. Murid-muridnya cukup banyak yang datang dari Pulau Jawa dan Sumateratermasuklah seorang cucu Sunan Gunung Jati dari Putrinya Panembahan Ratu yang dinikahi oleh Danuresia (Empu Eyang Dade Abang) yang bernama Syaikh Nurqodim al Baharudin (di sumsel dikenal dengan Puyang Awak). Pada akhirnya setelah Pai Lian Bang wafat, Sriwijaya diganti nama menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama PAI LIAN BANG.
 Sumber Pustaka :

September 01, 2013

Tan Malaka ; Perjalanan Panjang Ke Separuh Dunia

TAN MALAKA
Semula berniat menjadi guru, di separuh jalan Ibrahin Datuk Tan Malaka mengganti cita – cita itu, bermula ketika ia bersekolah di Rijks Kweekschool, Belanda. Di kota Haarlem yang nyaris bangkrut di tinggal ratusan pabrik Bir yang gulung tikar, ia berkenalan dengan sosialisme. Tapi ia menemukan “ Labolatorium”-nya sepulang dari Belanda tatkala menjadi guru anak-anak buruh perkebunan teh Belanda di Deli, Sumatera Utara. Inilah jejak perjungan Tan Malaka :


1. SUMATERA BARAT
Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897. Sebelum ke Belnda dihabiskan sebagai pemangku adat dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka. Dan di umur ke 16 Tan melanjutkan sekolah ke di Rijks Kweekschool, Belanda. Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913.
2. HAARLEM, BELANDA
Berkenalan dengan politik. Saat pulang kampung pada November 1919. Cita – cita Cuma satu ; mengubah nasib Bangsa Indonesia.
Haarlem, Belanda
teman - teman dekatnya di sekolah memenggil Tan dengan sebuatan Ieb atau Iple

3. DELI, SUMATERA UTARA
Menjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh, Belanda. Hengkang ke Semarang pada 1912.
4. SEMARANG
Bergabung dengan Serekat Islam. Aktif menyatukan gerakan komunis dan Islam untuk menghadapi Imperealis Belanda. Gara – gara hal ini pada 13 februari 1922 Ia ditangkap Belanda di Bandung.
5. JAKARTA
1 mei 1922, Tan di buang ke Amsterdam.
6. BELANDA
Menjadi calon anggota perlemen nomor 3 di partai komunis Belanda.
7. JERMAN
Melamar menjadi legiun asing, tapi ditolak. Di Berlin bertemu Darsono, pentolan Partai Komunis Indonesia ( PKI ).
8. RUSIA
November 1922, mewakili Partai Komunis Indonesia dalam konfrensi komunis Internasional  (komintern) keempat di Moskow. Diangkat sebagai wakil Komintern untuk Asia Timur di Kanton. Pindah kesana pada Desember 1923.
9. KANTON
Menerbitkan majalah the Dawn dan menuls buku “Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia)”  pada 1925. Menerima kabar bahwa ayahnya meninggal.
10. FILIPINA
Juni 1925 menyelundupkan ke Manila untuk menyembuhkan sakit paru-parunya. Memakai nama Elias Fuentes, bekerja sebagai koresponden El Debate.
11. SINGAPURA
Awal 1926 masuk Singapura memakai nama Hasan Gozali, orang Mindanao. Menulis buku Massa Actie.
12. THAILAND
Juli 1927 mendirikan Partai Rpbulik Indonesia di Bangkok.
13. FILIPINA
Agustus 1927 ditangkap polisi Filipina. Tengah malam, September 1927 diusir dan di titipkan di kapal Suzanna tujuan pulau Amoy di Cina.
14. PULAU AMOY (XIEMEN)
15. SHANGHAI
Pada 1930 masuk Shanghai dengan menyamar sebagai Ossario, wartawan Filipina untuk majalah Bankers Weekly. Oktober 1923 pindah ke Hong Kong karna pecah perang antara Cina dan Jepang.
16. HONG KONG
Tan tertangkap. Pada Desember dibuang ke Shanghai.
17. PULAU AMOY
Kabur dari kapal. Pada 1936 mendirikan sekolah bahasa Inggris dan Jerman. Ketika Jepang menyerang Amoy setahun kemudian ia lari ke Burma.
18. SIANGAPURA
Ia bisa turun di singapura, “ namun saya tiada mau memakai kesempatan itu, karna dengan begitu saya akan kehilangan uang US$25.” tulis Tan. Ini unang yang diminta nahkoda sebagai jaminan bahwa dia akan turun di Rangoon.
19. BURMA
Tiba di Rangoon pada 31 agustus 1937. Sebulan di Rangoon, ia kembali ke Singapura.
20. SINGAPURA
Mengajar bahasa inggris dan matematika di sekolah Tionghoa. Ketika Jepang meyerbu, ia pulang ke Indonesia melalui penang pada mei 1942.
21. PENANG, MALAYSIA
Berlayar ke Medan pada 10 juni 1942 dengan mengaku sebagai Lagas Hussein.

PRIODE JAWA
Dari Medan Tan memulai petualangannya selanjutnya menujuh tanah Jawa hingga akhir hayat.

PADANG
Singgah di Padang, mengaku sebagai Ramli Hussein, lalu melanjutkan perjalanan ke Lampung.
JAKARTA
Tiba pada Juli 1942, tinggal di Rawajati. Disini menulis Mediolog dan Aslia.
BANTEN
Pada 1943 menjadi kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten. Menggunakan nama Ilyas Hussein.
JAKARTA
Menggerakan pemuda menggelar rapat raksasa di lapangana IKADA, 19 September 1945.
PURWOKERTO
1 januari 1946, menggalang kongres ersatuan Perjuangan untuk mengambil alih kekuasaan dari tentara sekutu.
MADIUN
Tan dan Sukarni di tangkap di Madiun 17 maret 1946, karna persatuan perjunagn di anggap akan mengkudeta Soekarno-Hatta. Sejak itu, keduanya hidup dari penjara ke panjara di Jawa tengah dan Jawa timur.
MAGELANG
Juni 1948, keduanya di pindahakan ke penjarah magelang. Tan Menulis Dari Penjara ke Penjara. Pada 16 september 1948 dibebaskan.
YOGYAKARTA
Tan dan Sukarni mendirikan Partai Murba. 7 November 1948.
GUNUNG WILIS, KEDIRI
Tentara Republik Indonesia / TKR menangkap dan mengeksekusi Tan pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung, karna dituduh melawan Soekarno-Hatta. Kala itu Tan bersama Jenderal Soedirman –yangberjuang di Yogyakarta- sedang melawan agresi Belanda.  
Sumber Ilustrasi Perajalanan Tan Malaka
TEMPO, 17 Agustus 2008


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Blog Themes | Bloggerized by andri pradinata - Gold Blogger Themes | AP14