Maret 02, 2016

Tan Malaka ; Gerakan Oposisi dan Tudingan Coup d' Etat Pertama Dalam Sejarah RI


Tan Malaka
Setelah hampir 20 tahun (1922-1942) dalam masa persembunyian dan pengasingan di beberapa negara Tan Malaka kembali ke Indonesia pada pada tahun 1942  namun Tan Malaka masih dalam penyamaran dan belum mengungkapkan jati dirinya yang asli. Ilyas Husein adalah nama samaran yang dipakainya. Pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri menyebabkan Tan Malaka merasa masih perlu menyembunyikan identitasnya.
Untuk menutupi identitasnya, Tan Malaka bekerja di perusahaan tambang batubara milik perusahan swasta Sumitomo, di Bayah Kozan, Banten. Tidak lama kemudian, Tan Malaka dipercaya memimpin KUPP (Kantor Usaha Prajurit Pekerja). Dengan jabatan ini Tan Malaka berusaha memperbaiki nasib romusha dengan mendirikan poliklinik, dapur umum, dan perkumpulan olahraga dan hiburan. Melalui itu juga Tan Malaka menanamkan sikap patriotosme dan nasionalisme di kalangan romusha. Kemudian dari situ Tan Malaka mengkoordinir kekuatan-kekuatan pemuda dengan menciptakan kerja sama antara pekerja Bayah Kozan dengan Peta-Heiho. Sedangkan jabatannya juga naik menjadi ketua BP3 (Badan Pembantu Prajurit Pekerja) (Djalinoes. 1987:157).
Pada tanggal 15 September 1945, Tan Malaka mengusulkan untuk melakukan suatu gerakan demonstrasi uji kekuatan (krecht-proef) yang bertujuan memisahkan dan mengetahui kekuatan kawan dan lawan. Walau usulan tersebut sempat mendapat dukungan namun mendapatkan somasi dari Jepang maka demonstrasi tersebut tidak mendapat dukungan termasuk dari Presiden Soekarno dan Moh. Hatta (Malaka,2008:163).
Aksi revolusioner Tan Malaka bersama kelompok pemuda adalah melakukan mobilisasi masa besar-besaran bersama gerakan pemuda menteng 31 dan disusul oleh gerakan pemuda dari bebagai daerah melakukan mobilisasi besar-besaran. Aksi masa yang sampai 200 ribu tersebut yang dikumpulkan  di lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) untuk menunjukan dukungan para pemuda terhadap pemerintahan republik Indonesia dan siap melawan segala ancaman yang datang, dan siap membantu pelucutan senjata tentara jepang yang masih ada di Republik Indonesia (Poeze, 2008:84).
Pada 19 September 1945 dalam semangat revolusioner masa rakyat kecil berduyun–duyun berpawai mengahadiri rapat raksasa untuk mendengar pidato Bung Karno di lapangan Ikada, Jakarta. Mereka tidak lagi merasa takut terhadap kepungan bala tentara Jepang (Toer, 1997:161-162). Rapat raksasa amat perlu dilakukan untuk menggambarkan bagaimana RI memiliki legitimasi sosial-politik dengan cara mempertemukan langsung rakyat dan pemerintah, selain itu juga sebagai perwujutan kesiapan rakyat dan pemuda untuk mendukung kemerdekaan Indonesia secara penuh yang telah di Proklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Dalam desakan para pemuda selaku kepala pemerintahan di Republik Indonesia, Soekarno mendatangi kumpulan masa yang terjadi di Ikada untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk konflik yang bakal timbul dengan tentara jepang yang sudah menjaga sekeliling Ikada dengan pasukan lengkap. Soekarno menyampaikan pidatonya walau denga hasil yang tidak memuaskan, isi pidato sebagai berikut ;
“Saudara-saudara, kita akan tetap mempertahankan proklamasi kemerdekaan kita. Kita tidak mundur satu patah kata pun. Saya mengetahui, bahwa saudara-saudara berkumpul di sini untuk melihat Presiden saudara-saudara dan untuk mendengarkan perintahnya. Nah, apabila saudara-saudara masih setia dan percaya kepada Presidenmu, ikutilah perintahnya. Pertama, pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang ini juga dengan tertib dan teratur, dan tunggulah berita dari para pemimpin di tempatmu masing-masing. Sekarang, bubarlah, pulanglah saudara-saudara dengan tenang” (Sinar Harapan edisi 16 Agustus 2014).
Pidato Soekarno sebagai anti klimaks dari revolusi besar yang telah direncanakan sebelumnya dan bukan cerminan semangat perjuangan dan membiarkan tawaran rakyat yang ingin ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagi Tan Malaka apa yang dilakukan Soekarno tidak mencerminkan masa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seperti tujuan utama dari rapat raksasa ini adalah jalur penghubung antara rakyat dan pemerintah, termasuk kesiapan rakyat Indonesia dalam mendukung dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan berdasarkan arahan pemerintah. Masa aksi seperti inilah yang di harapkan Tan Malaka sebagai pendukung utama kemerdekaan Indonesia.
Kelebihan Masa aksi dibanding dengan yang lain menurut Tan Malaka adalah, perjuangan bisa terjaga, kedua adalah untuk memperlihatakan kekuatan terhadap musuh. Dengan Masa aksi dimungkinkan sedikit terdapatnya korban dalam sebuah aksi-aksi yang dilakukan walaupun terkadang pengorbanan itu diperlukan dalam sebuah revolusi. Untuk dapat menjamin bahwa Masa aksi itu bisa berhasil sesuai dengan tujuan yang digariskan maka diperlukan adanya seorang pemimpin yang revolusioner yang mempunyai kecakapan dan ketangkasan dalam memimpin serta mempunyai pengetahuan praktis tentang politik, ekonomi dari negeri serta psikologi diri. Selain itu pemimpin dapat memanfaatkan situasi yang terjadi dalam masyarakatnya untuk diambil menjadi sebuah keuntungan (Andiriadi, 2011:130-131).
Keberadaan Tan Malaka semakin menjadi sorotan sejak tiga pekan setelah proklamasi, Sayuti Melik diberi tugas khusus oleh Soekarno untuk mencari Tan Malaka dan berhasil mempertemukan Tan Malaka dan Soekarno pada 9 September 1945, di kediaman Soeharto dokter pribadi Soekarno. Dalam pertemuan itu Soekarno menyampaikan mengenai keinginanya yakni jika nanti terjadi pada dirinya hingga tidak mampu memimpin revolusi, Tan Malaka ditunjuk sebagai sebagai penerus tongkat revolusi. Kesaksian itu ditulis Sayuti Melik dalam kolom sekitar Testmen untuk Tan Malaka, yang dimaut di harian Sinar Harapan, September 1979 (Tempo 2008:15).
Testement adalah bentuk kekahwatiran Soekarno mengenai perjuangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia dimasa revolusi, apa lagi keinginan kuat Belanda untuk kembali berkuasa atas Indonesia. Testament yang diajukan Soekarno ternyata tidak mendapat persetujuan dari Hatta yang menyertakan nama Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah dan Wongsonegoro sebagai wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman sebagai representsi kelompok Islam. Tan Malaka sendiri mengatakan bahwa sedikit pun hal tersebut tidak mempengarui perasaanya, paham dan sikapnya tentang revolusi Indonesia (Malaka, 2008:112).
Hal tersebut sangat wajar, karena sesungguhnya dengan tidak adanya transparansi Soekarno-Hatta mengenai keberadaan testament tersebut menjadi tidak berarti, karna hanya diketahui oleh orang-orang yang terlibat dalam pembuatannya saja. Namun hal ini menjadi pisau bermata dua, berarti keberadaan testmen tersebut menjadi beredar, akan tetapi tanpa kepastian yang jelas (Poeze, 2008:225-227).
Tan Malaka juga melihat dari peristiwa 10 November 1945 di Surabaya,  mengeambil kesimpulan mengenai ketidak samaan antara kemauan rakyat dan pemerintah dalam revolusi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, sikap yang benar dalam mendapatkan sebuah kesimpulan untuk menetukan sikap dan tindakan dalam Revolusi Indonesia adalah menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat dengan Dialektika. Kedua, memakai tafsiran Materialisme dalam melihat perubahan sejarah dan bukan dengan tafsiran Idealisme. Ketiga, semangat pemeriksaan serta penyelesaian soal masyarakat serta sikap dan tindakan yang didasarkan kepada kesimpulan itu haruslah semangat kemajuan yang revolusioner. 
Selanjutnya menurut Tan Malaka untuk menguji mengenai benar atau salah sebuah kesimpulan, sikap dan tindakan maka haruslah didasarkan pada golongan yang berkepentingan itu:
1.      Dalam soal Revolusi Nasional, apakah bangsa yang terjajah berjuang untuk membela kemerdekaannya itu sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan hidupnya terhadap bangsa lain, atau kembali dijajah dengan cara lama.
2.      Dalam hal Revolusi Burjuis, apakah klas Burjuis yang tertekan oleh klas feodal dalam masyarakat tadi dan berjuang untuk mendirikan masyarakat burjuis sesungguhnya mendapatkan kekuasaan bagi penindas-pemeras kaum proletar dan untuk membela kaum burjuis.
3.      Dalam hal Revolusi Proletar, apakah klas proletar sanggup melepaskan dirinya dari pemeras tindakan burjuis (Feodalis) dan mendirikan masyarakat yang Sosialistik yang menuju ke arah komunisme ( Malaka, 2007 : 91).
Tafsiran tersebut penting sekali untuk diteliti, karena hal itu berkaitan dengan masalah revolusi di Indonesia. Tafsiran tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap pilihan taktik dan strategi dalam Revolusi.
Menurut Tan Malaka para pejuang Indonesia yang jauh dari jangakauan Soekarno-Hatta dapat lebih berhasil dalam merebut milik asing. Kekecewaan juga muncul ketika para pejuang Surabaya yang sudah berhasil mengepung para serdadu Inggris-Sekutu yang bersenjata lengkap justru harus di berhentikan oleh para pemimpin Jakarta. Sebelumnya tentara sekutu yang sebelumnya hampir kalah justru berbalik memukul mundul tentara RI dan kemudian menguasai Surabaya. Keraguan juga muncul akan kemampuan Soekarno-Hatta terhadap agresi dari pihak asing dan memimpin Revolusi Indonesia (Malaka, 2008:147).
Situasi politik di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaanya berada dalam situasi yang tidak terkendali. Pemerintahan yang diwakili oleh KNIP tidak dapat berbuat banyak, karena walaupun telah merdeka, pemerintah dalam praktiknya seolah-olah tidak ada dan tidak berfungsi. Kemerdekaan yang di proklamirkan tidak berarti banyak di kalangan pemerintahan yang masih menunggu kepastian dan dukungan Japang mengenai kemerdekaan Indonesia.
Menurut Anderson (1988:195), selama sepuluh minggu pemerintahan soekarno, perkembangan yang terjadi di Jakarta tidak dapat mengimbangi peristiwa-peristiwa yang lebih dramatis di daerah-daerah. Di kalangan pemuda Jakarta, aktivitas revolusioner menegakkan kekuasaan republik juga menjadi terhambat dengan kedatangan Sekutu, sehingga menghalangi pemuda Jakarta mendapatkan persenjataan Jepang dengan jumlah yang mencukupi.
Pertempuran yang terjadi di daerah-daerah, dipicu oleh NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang membonceng sekutu,  setelah mempersenjatai kembali anggota-anggota KNIL yang baru dibebaskan dari tawanan Jepang. Untuk menegakan kembali supermasi Belanda atas Indonesia. Pertempuran terjadi di Magelang, Ambarawa, Medan dan sebagainya, dengan puncaknya di Surabaya. Hal tersebut menyebabkan Sekutu menyatakan bahwa Indonesia berada dalam kondisi tidak aman. Menurut Marwawi (1993: 121-123), dalam konflik tersebut, terdapat empat kekuatan yang saling Tarik menarik yaitu, Sekutu, NICA, pemerintah RI dan rakayat revolusioner. Sekutu secara politis bersikap netral, namun dalam praktiknya beraplisiasi dengan NICA. Belanda melalui NICA bertujuan menegakan kembali supermasinya di Indonesia. Pemerintah RI tidak mampu mengkordinasi kekuasaanya di daerah hingga barisan rakyat bersama pemuda dalam bentuk laskar dan badan perjuangan secara sporadis menegakan kekuasaan republik di daerah masing-masing.
Dalam situasi tersebut pemerintah RI sebagai kekuasaan yang sah atas Indonesia memunculkan suatu upaya penyelesaian konflik dengan melakukan jalan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, pemikiran itu dipengaruhi oleh pemikiran Syahrir melalui brosurnya Perjuangan Kita. Hal tersebut didukung oleh Hatta yang menegaskan Indonesia berada dalam ruang lingkup sistem kapitalis dan demokrasi, oleh karena itu perjuangan memperoleh kedaulatan dan pengakuan secara internasional harus dijalani dengan cara mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa (Sjahrir,1999:43-50). Namun untuk menyelesaikan konflik tersebut Indonesia yang menggunakan sistem presidensial dan kepertaian tunggal harus mampu meyakinkan Sekutu bahwa Indonesia bukan kolabolator jepang atau negara fasis buatan Jepang.
Ketidak percayaan atas kerja Kabinet Soekarno tidak mampu melakukan konsolidasi kekuasaan republik secara nyata dikarenakan tidak adanya program  dan rencana yang jelas dari pemerintah. Hal tersebut dimanfaatkan Syahrir melalui BP-KNIP mendesak dan memenangkan program politiknya (Malik, 1982: 89). Atas desakan itulah kemudian muncul maklumat 1 dan 3 November 1945. Maklumat 1 November menyatakan bahwa pemerintah RI akan mengembalikan samua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik asing yang telah dikuasai pemerintah. Maklumat 3 November menyatakan bahwa pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik. Implementasi politik maklumat 3 November adalah peralihan sistem presidensial menjadi parlementer dengan Syahrir di tunjuk sebagai Perdana Mentri.
Munculnya ketiga maklumat tersebut sangat sejalan dengan pemikiran Syahrir yaitu memperkuat organisasi negara Indonesia secara demokrasi dan memperbesar kepercayaan dunia, yaitu bahwa Indonesia mampu mengatur negara dan rakyat dengan tidak mengecewakan hubungan ekonomi, politik, dan kebudayaan dengan luar negeri (Sjahrir,1999:50). Dengan demikian dimulai jalur perjuangan diplomasi pemerintah RI.
Namun ternyata apa yang terjadi haluan rakyat dengan pemerintah sangat berlainan, bahkan bertentangan. Pengakatan Syahrir pada 14 November 1945, dengan kebijakan berunding dengan Belanda dan pengembalian kembali milik asing sesuai dengan maklumat November 1945. Tan Malaka menentang kebijakan Syahrir, kemudian menulis tiga brosur yang menjadi acuan dasar pemikiran dan pergerakanya dalam persatuan perjuangan, yaitu Politik, Rencana Ekonomi Berjuang dan Muslihat (Tamin, 1965:17).

Berdirinya Persatuan Perjuangan

Melihat dibeberapa wilayah di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan kesiapan semua rakyat untuk menjaga Proklamasi kemerdekaan, Mengingat juga perpecahan yang terjadi antar partai seperti, gesekan antara kaum sosialis dan partai-partai Islam di wilaya Pekalongan, Cerbon dan Periangan. Maka dengan sendirinya Tan Malaka pada kesimpulan, perlunya mengkoordinir semua partai, tentara, laskar dan badan yang pecah belah untuk menentang diplomasinya Belanda, yang dibantu oleh tentara Inggris yang besenjata lengkap (Malaka,2008;158).
Menurut Anderson (1988:318-319), kemunculan Tan Malaka di media yang ditulis oleh Moh. Yamin (Berita Indonesia, Rabu 26 Desember 1945) sangat tepat, yaitu di saat kekecewaan-kekecewaan terhadap pemerintahan Sjahrir telah timbul. Nama Tan Malaka dipersiapakan oleh pemuda sebagai tokoh yang dapat mempersatukan kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Sjahrir.
Mulanya konferensi pembentukan Persatuan Perjuangan dimaksud diadakan di Malang pada Bulan pada bulan Desember 1945, setelah Surabaya ditinggalakn oleh kelaskaran dan ketentaraan. Tetapi karena perwakilan banyak berada di wilaya Jawa Barat dan mengingat waktu yang ditentukan tidak bias sampai di Malang, maka konperensi yang direncanakan di Malang di batalakan. Dan Tan Malaka memili berangkat ke Cirebon untuk menjumpai para wakil organisasi yang ada pada masa itu.
Pertemuan pertama bersama para wakil organisasi dari berbagai daerah di Jawa akhirnya dapat dilaksanakan di Demak Idjo, dekat Yogyakarta pada tanggal 1 Januari 1946. Baru pada tanggla 3-5 Januari dapat diadakan Kongres Persatuan Perjuangan Pertama di Purwokerto, yang dihadiri oleh 138 Organisasi (Malaka,2008:161). Disana Tan Malaka menyampaikan pidato Situasi Politik Luar dan Dalam Negeri. Yang berisikan mengenai situasi dunia dan perjuangan apa yang tepat bagi Indonesia. Kongres ini adalah langkah awal untuk membahas pemebentukan Persatuan Perjuangan (PP) yang akan dibahas di kongres berikutnya.
Kemudian pada 15-16 Januari 1946 dilangsungkan kembali Kongres Rakyat di Surakarta, yang diahadiri oleh 141 organisasi, yang menghasilakan pembentukan Persatuan Perjuangan (Nasution, 1979:69). Disanalah juga 7 (tujuh) pasal Minimum Program di paparkan sebagai acuan dasar perjuangan. PP menjadi kekuatan oposisi yang besar terhadp pemerintahan Sjahrir, karena semua organisasi besar yang utama telah bergabung dalam PP, hanya pemerintah sendiri kekuatan terbesar diluar PP.
Salah satunya adalah dukungan dari Panglima tertinggi militer Indonesia, yakni Jenderal Sudirman memberikan sambutan dan mendukung Minimum Program perjuangan yang dihasilkan pada kongres Persatauan perjuangan yang semakin memberikan kepercayaan diri dan dukungan terhadap PP. Penggalan pidato Jenderal Sudirman pada kongres Persatuan Perjuangan :
Saudara-saudara yang siap sedia membela Kemerdekaan 100 persen! Saya sangat gembira atas terbentuknya Volksfornt yang berani bertanggung jawab atas itu. Kedudukan dan kewajiban tentang yang saja pimpin adalah mempertahankan kemerdekaan 100 persen. Tentara timbul tenggelam dengan negara.
Pemimpin-pemimpin negara boleh berganti, cabinet boleh berganti 3 kali dalam sebulan, tetapi tentara tetap berjuang terus sampai 100 persen, kemerdekaan tercapai.
Tenatara berjuang terus dengan rakyat membela tanah air.
Lebih baik di atom sama sekali daripada tidak merdeka 100 persen
(Poeze, 2009:216).
Pada perkembangannya, Persataun Perjuangan menjadi organ perjuangan yang sangat di perhitungkan termasuk oleh pemerintah. Bahkan setelah kongres di Solo yang mendapat publikasi pers yang sangat besar. Pada saat yang sama pula KNIP menyatakan dukungannya terhadap Minimum Program yang diusung Persatuan Perjuangan dan mengusulkan menjadi program pemerintah.
Perkembangan Persatuan Perjuangan berkembang pesat disebabkan oleh beberapa hal, pertama kharisma Tan Malaka sebagai tokoh pergerakan lama dan dukungan oleh pemuda-pemuda militan menteng 31. Kedua, kelemahan cabinet Sjahrir, yang hanya terpaku pada partai sosialis, dan program kabinet yang hanya mengandalakan diplomasi dan perundingan tanpa perlawanan senjata, dan yang terpenting adalah gelombang pasang Nasionalisme yang makin kuat dikalangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan RI (Kahin, 1995:216-217).
Melihat perkembangan kelompok oposisi Persatuan Perjuangan, pemerintah membetuk Barisan Nasioanal yang di prakarsai oleh Partai Sosialis, yang bertujuan menggalang kekuatan untuk memperluas demokrasi dan diplomasi. Namun Barisan Nasional tidak dapat berjalan bahakan tidak mampu menyaingi perkembangan Persatuan Perjuangan (Anderson, 1988:321). Bahkan suara Partai Sosialis dan Pesindo sebagai pendukung utama Sjahrir juga mendukung PP.
Keberadaan PP dan dukungan partai-partai yang juga tergabung dalam KNIP mempengarui keputasan pada siding KNIP di Surakarta pada 28 Februari – 2 Maret 1946 membahas usulan Van Mook, dan berdampak pada pengembalian mandat Sjahrir kepada presiden. PP mendapatkan kesepatan penyusuanan kabinet. Hasil rapat memutuskan minimum program menjadi program pemerintah (Malaka, 2008:217). Pemerintah menyetujui hal tersebut dengan syarat perubahan pada pasal 6 & 7 Minimum Program, Karen akan berdampak besar bagi posisi Indonesia sama saja menghendaki perlawanan terhadap semua Imprialis dunia.
Namun permintaan yang diajukan pemerintah di tolak oleh PP diwakili Sukarni termasuk dalam penyusunan kabinet. Oleh karena itu Sjahrir kembali di angkat sebagai formatur kabinet pada siding KNIP 1 Maret 1946. Dan kelompok PP memilih tidak bergabung dengan kabinet dan berada di luar pemerintahan atau dalam arti sebagai oposisi pemerintah (Nasution 1979:77).
Kabinet Sjahrir II membentuk kabinet yang lebih resperatif dan mengeluarkan 5 pasal yang merupakan upaya mengkonsolidasi Minimum Program PP dengan Program Pemerintah (Reid, 1996:156). Namun PP tetap melakukan oposisi terhadap pemerintahan, perpecahan mulai muncul dari tubuh PP mengingat pasal Minimum Program yang terlalu berat dan juga dari anggota PP yang cenderung bergabung hanya untuk menjatuhkan pemerintahan Sjahrir sebelumnya.
Beberapa organisasi yang bergabung dalam PP seperti PSI, Gerakan Rakyat Indonesia, Buruh Tani Indonesia, Partai Katholik justru mulai berbalik mendukung pemerintah Sjahrir. Bahkan Masyumi mengirimkan M Natsir sebagai menteri. Sudirman yang awalnya sangat mendukung Persatuan Perjuangan mulai menjaga jarak terhadap gerak dan tindakan yang dilakukan PP.
Perpecahan dalam tubuh PP menguntungkan pemerintah, karena manuver yang di lakukan PP berbahaya bagi kelangsungan perundingan yang akan dilakukan Indonesia dan Belanda. Berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan yang dijabat Amir Syarifudin dan Dr. Sudarsono selaku Menteri dalam Negeri di rencanakan penagkapan terhadap pimpinan PP seusai kongres di Madiun.  Pimpinan-pimpinan PP seperti Tan Malaka, Sukarni, Abikusumo dan Moh. Yamin ditangkap pada 17 Maret 1946 dan disusul penangkapan Chaerul Saleh pada 20 Maret 1946 (Anderson, 1988:358). Sebelum tertangkap para Pimpinan PP sebelunya tertahan di Madiun sehabis kongres oleh Laskar Pesindo yang sebelumnya bergabung sebagai anggota PP dan selanjutnya memilih keluar dari PP.
  Menurut Anderson (1988:361), penangkapan yang dilakukan terhadap pimpinan-pimpinan PP cukup janggal. Tokoh-tokoh yang berperan dalam jatuhnya kabinet Sjahrir I seperti Wali Al Fatah, Sukiman dan Sarmadi tidak ditangkap. Keberadaan PP bagi Pemerintah adalah hambatan bagi kelangsungan dan program-program Kabinet Sjahrir II. Penagkapan terhadap pucuk pimpinan PP juga berperan bagi kelangsungan PP dan makin membuat PP terpecah dan posisinya sebagai oposisi pemerintahan mengalami kelumpuhan akibat konflik internal dan kepentingan para anggota.
Pada 5 Mei 1946, dibentuk koalisi baru sebagai penerus PP yang dinamakan Konsentrasi Nasional dan banyak anggota PP bergabung dalam Konsentrasi Nasional, namun berdasarkan rapat 26 Mei 1946, badan ini memtuskan untuk berada di belakang pemerintah atau dalam arti tidak dapat melanjutkan aksi oposisi PP. kehilangan banyak anggota membuat PP lumpuh, akhirnya pada 4 Juni 1946 PP dibubarkan akibat tidak ada tumpuk pimpinan yang tepat memimpin PP (Nasution, 1979:231).
Keberadaan Tan Malaka dalam PP perjuangan secara de facto hanya sebagai panitia perumusan tindakan apa yang perlu diambil dalam pelaksaan minimum program bersama sepuluh anggota lainya seperti Ibnu Parna, Wali Al-Fatah, Sukirman, Abdul Majid, Sudirman, Atmaji, Sugiyono, Osman dan Nyoto Mangkusarkoro yang secara kedudukan adalah sederajat. Namun Tan Malaka adalah mastermind atau pionir gerakan PP, tidak dapat di pungkiri keberadaan Minimum Program dan gerakan PP adalah buah fikir dari Tan Malaka, atau dapat diartikan pengaruhnya sangat besar terhadap sikap politik PP.
Tan Malaka juga digambarkan sebagai tokoh atau perlambang bagi kaum oposisi, selayaknya Sukarno dalam pemerintahan sebagai gambaran pimpinan sejati bagi Bangsa Indonesia. Keberadaan Tan Malaka sangata dibutuhkan oleh PP karena mampu mempersatukan banyak kelompok untuk menjadi bagian pendobrak kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan dibawah naungan PP menjadikan kaum oposisi menjadi perhitungan berat bagi kebijakan Pemerintah.
Pentingnya sosok seperti Tan Malaka dalam tubuh PP dapat terlihat ketika Tan Malaka beserta tokoh-tokoh PP lainnya di tangkap pada 17 Maret 1946, kekuatan PP seperti lenyap dan tidak mampu menggempur pemerintah mereka seperti kehilangan simbol perlawan dan pemersatu. Mengingat PP adalah organisasi federal bebas yang disatukan oleh kesamaan kepentingan perjuangan, sehingga dibutuhkan program pemersatu (Minimum Program) dan orang yang dapat mempertahankan persatuan tersebut.
harian Kompas tanggal 4 Juli 1985

Peristiwa 3 Juli 1946

Penangkapan Tan Malaka beserta Pimpinan-pimpinan lain PP pada 17 Maret 1946 sempat menuai konflik, mengingat tidak ada alasan yang jelas penangkapan mereka. Selain itu juga perundingan antara Indonesia dan Belanda yang sebenarnya akan diadakan pada 14-25 April 1946 di Hooge Veluwe dan kemenangan partai Konservatif dalam pemilu Belanda 17 Mei 1946, kekawatiran perubahan haluan politik dan kebijakan pemerintah Belanda dari perundingan kemungkinan terjadi serangan militer oleh Belanda (Anderson, 1988:413).
Kegagalan Hooge Veluwe juga mumunculkan anggapan bahwa terdapat kekhawatiran masyarakat Belanda mengenai situasi radikal dan revolusioner yang timbul di Jawa, dan menjadi hambatan utama penyelesaian masalah diplomatik. Sjahrir adalah tokoh paradoksal dalam konflik ini antara tetap melanjutkan perundingan dengan Belanda dan bersiap tindakan oposisi yang semakin radikal dan revolusioner atau berpihak pada oposisi berarti siap melawan militer Belanda terhadap RI.
Bocornya isi ulasan balasan Sjahrir kepada Van Mook pada 17 Juni 1946 yang berisikan Sjahrir siap menerima pengakuan kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatera saja (Anderson, 1988:416). Mendengar konferensi yang diperjelas wakil presiden, Moh. Hatta membuat tokoh-tokoh oposisi seperti Buntaran, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh dan beberapa lainya melakukan pertemuan namun tidak menenghasilakan keputasan kongkret dan langkah yang akan diambil atas keputusan yang diambil Sjahrir dan pemerintah.
Selanjutnya Mayjen Sudarsono dan A.K. Yusuf membicarakan itu untuk membuat keputusan soal penangkapan Sjahrir. Rencana berlajut setelah diketahui kedatangan Sjahrir di Surakarta sebelum melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur. Dan penangkapan Sjahrir dilakukan pada 27 Juni 1946 pada malam hari dan kemudian dibawa ke Paras, sekitar 35 Km dari Surakarta di lereng Merbabu.
Pada 28 Juni 1946 atas usulan Amir Syarifudin, mengambil dekrit istimewa atas pengambil alihan kekuasaan sementara. Sukarno menyampaikan pidato pada 30 Juni 1946 yang menyerukan pembebasan terhadap Sjahrir. Setelah Sjahrir dalam keadaan aman, pada 1 Juli 1946 dikeluarkan surat penangkapan terhadap tokoh-tokoh oposisi yang diduga terlibat, yaitu Subarjo, Buntaran, Buddhyanto, Sayuti Melik, Moh. Saleh, Pandu Kartawiguna, Surip Suprapto, Sumantro, Joyopranoto, Suryodiningrat, Marlan, Chaerul Saleh, Adam Malik dan Ibnu Parna (Nasution, 1979:346). Pada 3 juni 1946, Mayjen Sudarsono, bersama Moh. Yamin dan 14 tahanan politik tersebut datang keistana presiden, untuk menyampaikan maklumat pernyataan pembubaran kabinet Sjahrir II, pembetukan Dewan Pimpinan Politik yang akan memiliki kewenangan politik tertinggi dan pembetukan kabinet baru.
Mengetahui keterlibatan Tan Malaka dalam peritiwa ini, pertama Tan Malaka bukan orang yang ikut dibebaskan bersama 14 tahan politiknya oleh Mayjen Sudarsono. Kedua berdasarkan kesaksian yang disampaikan dalam dari Penjara ke Penjara III, peristiwa itu terjadi dan ia berada di penjara Tawamangun, dan ia baru mendengar kabar penculikan Sjahrir baru pada 5 Juli 1946 melalui berita di Radio (Malaka, 2008:192).
Kesempatan diambil pemerintah berita penculikan Sjahrir digunakan sebagai cara meredam gerakan oposisi dari kelompok Tan Malaka. Dalam pengumuman resmi pemerintah peristiwa 3 Juli adalah sebuah kudeta yang gagal dari Tan Malaka (Nasution, 1979: 350). Status penahanan Tan Malaka, Abikusumo dan Sukarni tidak jelas sejak 17 Maret hingga 3 Juli 1946 penagkapan mereka tidak jelas dan kemudian 3 juli tuduhan dialihkan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.
Sampai pada sidang Mahkama Agung tentara selesai pada 19 Februari 1948, Tan Malaka tidak mendapat tuduhan sebagai pelaku kudeta, melainkan mendapat tuduhan sebagai pelaku yang menjalakan gerakan oposisi illegal (Malaka, 2008: viii-ix). Sepertinya Pemerintahan berusaha terus memenjarakan Tan Malaka dengan berbagai tuduhan untuk tetap menjaga setabilitas hubungan diplomasi yang sedang dibangaun antara Indonesia dan Belanda.
Banyak elemen organisasi yang mendukung Tan Malaka, seperti Gerakan Revolusi Rakyat (GRR), menuntut pembebasan Tan Malaka. Namun Tan Malaka mengatakan bahwa ia tidak ingin bebas tanpa tanpa pemeriksaan. Jika Tan Malaka tidak terlibat maka pemerintah harus mengakui kesalahnya. Sedangkan tokoh-tokoh yang juga ditangkap pada 3 Juli dibebaskan pada 17 Agustus 1948. Sedangkan Tan Malaka baru dibebaskan pada 16 September 1948 karena tidak lagi terdapat cukup alasan untuk melanjutkan penahanan.
Muncul juga interpretasi lain atas pembebasan Tan Malaka setelah 30 bulan, pembebasan Tan Malaka berkaitan untuk menandingi gerakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) PKI yang semakin berkembang, terutama setelah kembalinya Musso pada Agustus 1948 dan Tan Malaka akan menjadi sayap kiri tandingan terhadap pergerakan dan kedudukan FDR. Namun bagi Tan Malaka apa bila FDR-PKI menggunkaan kekuatan untuk melawan Belanda kelompok Tan Malaka siap membantu, namun apa bila jika FDR-PKI melakukan upaya merobohkan pemerintah kekuasaan republik yang sah, maka kelompok Tan Malaka akan mendukung pemerintah dan menumpasnnya (Malaka, 2008:xx-xxi). Dalam arti pembebasan yang dilakukan pemerintah tidak mempengarui terhadap sikap dan tidakanya untuk RI.
Bagi Tan Malaka apa yang dialami selamah 30 Bulan bukan suatu hal asing baginya setidaknya sudah 3 kali Tan Malaka dalam tahanan masa pemerintahan kolonial (1922, 1927 dan 1932). Pembebasan Tan Malaka ibarat dalam pepatah : “Berapapun cepatnya kebohongan itu, namun kebenaran akan mengejarnya juga”. Semangat revolusinya tetap menggaung walau di dalam tahan dalam tahanan itu juga Tan Malaka mengahasilkan karyanya juga yang nantinya menjadi pedoman bagi perang gerilya yang dilakukanya pada masa agresi militer Belanda II.


PUSTAKA

Anderson, Ben. 1988. Revolusi Pemuda. Jakarta: Pustaka Harapan.
C, M Rickefs. 2007. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta : Gajahmada University Press.
Dekker, Nyoman. 1989. SejarahRevolusi Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka
Fa’al, FM 2005, Negara danrevolusisosial: pokok-pokokpikiran Tan
Malaka,Resist Book, Yogyakarta.
Gie, SoeHok. 2005. Orang – orang Dipersimapang Kiri Jalan.Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.
Jervis, Halen. 1987. Tan Malaka: Pejuang Revolusi atau Manusia Murtad. Jakarta: Yayasan Massa.
Kahin, Gorge MC Turan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Pustaka Harapan.
Kansil, C.S.T &Julianto. 1988. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.Jakarta :Erlangga.
Kutoyo, Sutrisno. 2004, Prof. H. Muhammad Yamin SH. ; Cita–cita dan Perjuangan Seorang Bapak Bangsa. Jakarta : Mutiara Sumber Widya
Legge. J.D 1993. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan; Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta: PustakaUtamaGrafiti
Loebis, Aboe Bakar. 1992. Kilas Balik Revolusi Kenangan, Pelaku dan Saksi. Jakarta : UI Press.
Malaka, Tan  2008, Dari Penjara Ke Penjara III (EdisiKhusus 63 Tahun RI), Jakarta : LPPM Tan Malaka
__________ 2000. Geriliya Politik Ekonomi, Yogyakarta :Jendela
__________ 1962, Menuju Republik Indonesia, di lihat tanggal 23 Januari 2014 http://www.marxist.org.
___________ 2010, Madilog: materialisme, dialektika, dan logikaPenerbit NARASI, Yogyakarta.
____________ 2005, Muslihat : Merdeka 100 persen. Tanggerang: Marjin Kiri.
_____________ 1987. Surat Kepada Rakyat. Jakarta: Yayasan Massa.
____________ 1987, Thesis. Jakarta: Yayasan Massa.
____________ 1987. Uraian Mendadak. Jakarta: Yayasan Massa
Malik, Adam. 1982. Riwayat Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Widjaya
Mani, P.R.S. 1998. JejakRevolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 Jilid1 : Dari kebangkitan Nasional sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, A. H. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid III: Diplomasi sambil Bertempur. Bandung : DISJARAH-AD &Angkasa.
_______________ 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid IV: Agresi Militer II. Bandung : DISJARAH-AD &Angkasa.
Poesponegoro, Marwati Djoned. Dkk. 1993. SejarahNasional Indonesia Jilid VI. Jakarta :BalaiPustaka.
Poeze, Harry A. 2000, Tan Malaka ;Pergulatan Menujuh Republik 1897-1925, Jakarta : PT Temprint
______________2008, Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.Jakarta :YayasanObor Indonesia
Reid, J.S Anthony, 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ricklefs. M.C. 2005. Sejarah Indonesia Moderen.Yogyakarta : UGM Press
Sjahrir, Sutan. 1999. Perjuangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49
Syahputra, Febby. 2011Perbandingan Strategi Perjuangan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan 1945-1949. Bandung: Repository.UPI.edu















2 komentar:

Dartono mengatakan...

mantap. salam kenal.

venny mengatakan...

DAFTAR AKUN SABUNG AYAM


* KUNJUNGI SITUS KAMI DI *

WWW.ID303.INFO


Proses Cepat , Pelayanan terbaik*


* Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :

- WA : 08125522303
- BBM : CSID303



Cara Taruhan Judi Sabung Ayam S128


Agen Bola


www.ayambakar.live

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Blog Themes | Bloggerized by andri pradinata - Gold Blogger Themes | AP14