Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk sejak krisis moneter tahun 1998, disusul kenaikan bahan bakar minyak dan harga beras pada awal tahun 2005 menyebabkan jumlah orang-orang miskin bertambah banyak. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui penduduk miskin pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari total jumlah penduduk (Berita Resmi Statistik, 2006). Bertambahnya penduduk miskin secara otomatis berarti semakin manambah banyak keluarga yang sulit untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Bila melihat fakta yang ada di Indonesia, selain merupakan permasalahan ekonomi, kemiskinan juga menjadi akar permasalahan berbagai aspek kehidupan. Kemiskinan mempengaruhi bidang kesehatan masyarakat. Ketidakmampuan finansial menyebabkan masyarakat miskin sering tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup, sulit untuk membiayai pengobatan ketika sakit, keterbatasan dana untuk menciptakan sanitasi lingkungan yang baik dan bahkan menyebabkan kejadian yang cukup ekstrim seperti kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang menyebabkan banyak balita menderita gizi buruk. Prasetyo (2006:10) menulis “setiap hari lahir sekitar 11.000 anak Indonesia, namun 800 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun oleh penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah”.
Kemiskinan membatasi kesempatan anak-anak memperoleh pendidikan seperti yang diungkapkan dalam Kompas (2007:1) “sejumlah warga negara kurang mampu menyatakan pesimis bisa memberikan bekal pendidikan kepada anak-anak mereka, minimal hingga jenjang SLTA. Umumnya, kendala yang mereka hadapi adalah belitan kemiskinan sehingga prioritas pendidikan tergeser oleh kebutuhan sehari-hari”.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari latar belakang yang telah di jelaskan, maka dapat di rumuskan maslah sebagai berikut ;
a. Gambaran kemiskinan dan Pendidikan di negri ini ?
b. Kaitan masalah biaya pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik ?
ARGUMENTASI& ALASAN
Permasalahan pendidikan merupakan suatu kendala yang menghalangi tercapainya tujuan pendidikan, untuk saat ini banyak yang berargument bahwa masalah pendidikan di negri in ilebih di lihat dari 3 halpokok, yakni ; Pemerataan Pendidikan, Mutudan Relevansi Pendidikan, Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan. Tetapi untuk saat ini saya lebih menitik berat kanpada bidang perekonomian yang menjadi bagian tolak ukur kehidupan bermasyarakat. Tak bisa kita pungkiri untuk saat ini bahwa biaya pendidikan bukan lagi hal yang murah terutama apa bila kita menyangkut masalah perguruaan tinggisaat ini dengan kebijakan “ BADAN HUKUM PENDIDIKAN-nya " yang mambebankan pendanaannya kepada para-Mahasiswanya. Mungkin bagi masyarakat umum biaya di perguruaan tinggi adalah hal yang mahal itu di anggab wajar, tapi kita menilik di bagian sekolah tingkat dasar baik di tingkat SD, SMP memang gratis. Tapi bagaimana biaya sekolah SMA. Sebagai contoh ada SMA Negeri kabupaten di Jawa Tengah yang pada tahun ini uang pangkal Rp 3juta-Rp 5juta ditambah SPP Rp 250.000,-/bulan atau Rp 1,5juta/semester (6 bulan). Bayangkan petani atau tukang becak bagaimana bisa menyekolahkan anaknya ke SMA tersebut. Mau menjual ternak atau sawah ? Itu tidak mungkin karena barang tersebut adalah sumber penghidupan. Akhirnya biarpun nilai bagus tapi akhirnya harus gigit jari.
Bagaimana nasib anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh. Bukankah mereka juga berhak mengenyam pendidikan tinggi. Apa mereka hanya berhak sekolah sampai SMP saja? Atau merekahanya berhak kuliah di sekolah-sekolah atau kampus “pinggiran”. Apakah mereka tak panta suntuk sekolah di UI, ITB, UGM? Lantas dimana bagimana amanat pembukaan UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau yang berhak cerdasanya mereka yang kaya saja. Yang miskin biar tetap bodoh dan miskin.
Ini sebuah ironi. Anggaran pendidikan dinaikkan, tetapi biaya untuk mengakses pendidikan semakin mahal. Saya secara pribad imenyedihkan kejadian ini. Tulisan ini diilhami kejadian nyata yang terjadi di negeriini. Semoga dapat menjadi pemikiran bagi pemimpin bangsa yang telah kita pilih. Mendapatkan kesempatan pendidikan adalah hak semua warganegara.
Bukankah negara ini didirikan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya ?
PENDIDIKAN DAN KEMISKINAN
a. Gambaran kemiskinan di Indonesia
Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk sejak krisis moneter tahun 1998, disusul kenaikan bahan bakar minyak dan harga beras pada awal tahun 2005 menyebabkan jumlah orang-orang miskin bertambah banyak. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui penduduk miskin pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari total jumlah penduduk (Berita Resmi Statistik, 2006). Bertambahnya penduduk miskin secara otomatis berarti semakin manambah banyak keluarga yang sulit untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Bila melihat fakta yang ada di Indonesia, selain merupakan permasalahan ekonomi, kemiskinan juga menjadi akar permasalahan berbagai aspek kehidupan. Kemiskinan mempengaruhi bidang kesehatan masyarakat. Ketidakmampuan finansial menyebabkan masyarakat miskin sering tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup, sulit untuk membiayai pengobatan ketika sakit, keterbatasan dana untuk menciptakan sanitasi lingkungan yang baik dan bahkan menyebabkan kejadian yang cukup ekstrim seperti kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang menyebabkan banyak balita menderita gizi buruk. Prasetyo (2006:10) menulis “setiap hari lahir sekitar 11.000 anak Indonesia, namun 800 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun oleh penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah”.
Kemiskinan membatasi kesempatan anak-anak memperoleh pendidikan seperti yang diungkapkan dalam Kompas (2007:1) “sejumlah warga negara kurang mampu menyatakan pesimis bisa memberikan bekal pendidikan kepada anak-anak mereka, minimal hingga jenjang SLTA. Umumnya, kendala yang mereka hadapi adalah belitan kemiskinan sehingga prioritas pendidikan tergeser oleh kebutuhan sehari-hari”.
Kemiskinan dapat mempengaruhi stabilitas keamanan dan kenyamanan masyarakat karena kebutuhan yang tidak terpenuhi membuat keresahan masyarakat bertambah sehingga menimbulkan gejolak-gejolak sosial. Seperti demonstrasi menuntut kebijakan pemerintah, pelegalan larangan-larangan umum dengan alasan ketidakmampuan ekonomi, tipisnya rasa nasionalisme bangsa oleh karena ketidakpuasan terhadap pemerintah dan sebagainya.
Kemiskinan mempengaruhi tindak kriminalitas. Aristoteles (dalam Haba, 2005) seorang filsuf Yunani kuno mengungkapkan “Kemiskinan adalah orang tua dari revolusi dan kriminalitas”. Banyak tindak kriminalitas diakibatkan oleh kemiskinan, seperti kasus pencurian, penjualan anak bahkan pembunuhan yang disebabkan kerena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam hal ini jelas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyakit bangsa yang sangat menghambat pembangunan dan harus terus diatasi apabila tidak menginginkan bangsa menjadi semakin terpuruk. Data perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut sebagai generasi yang hilang akibat kekurangan pangan, penyakitan dan tidak berpendidikan (Prasetyo, 2006:11).
Beberapa ahli juga mengatakan bahwa kemiskinan adalah patologi sosial. Menurut Matza dan Miller (dalam Haba, 2005) tentang kemiskinan “Above all it is social pathology, which is to say that disrepute is the imputation or stigma that goes along with being sub-employed” oleh karena itu pemerintah, segenap elemen masyarakat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu mencurahkan perhatian khusus untuk mengentaskan kemiskinan.
Pandangan akan batasan dan faktor-faktor penyebab kemiskinan memang beragam. Scarpitti (1992:209) menulis bahwa masyarakat Amerika memiliki pandangan tentang kemiskinan yang khas dan keras. Pandangan masyarakat ini meyakini bahwa orang miskin menjadi miskin karena kegagalan mereka sendiri. Akibatnya, kemiskinan dilihat sebagai permasalahan individual dengan solusi-solusi individual.
Scarpitti (1992:211-212) juga menguraikan pandangan masyarakat Amerika yang tertuang dalam American dream mengenai pandangan terhadap budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan didefinisikan sebagai suatu cara hidup yang dilambangkan dalam masyarakat urban dan perkampungan kumuh. Hal ini terdiri dari banyak jalinan sosial, ekonomi dan faktor-faktor psikologis, termasuk disorganisasi keluarga dan tidak merencanakan masa depan. Pendapat budaya kemiskinan masyarakat Amerika ini mendorong banyak stereotip terkemuka, seperti orang-orang miskin tidak mau bekerja, mereka tidak dapat menunda kepuasan dan mereka malas. Asumsi ini menganggap kemiskinan berasal dari moral yang miskin, bukan karena kurangnya uang mereka. Anggapan dominan tentang kemiskinan ini dihasilkan dari budaya etika kerja Protestan masyarakat Amerika dan American dream yang berpikir bahwa dengan berkerja keras dan keyakinan, seseorang dapat mengusahakan kesuksesan. Menurut keyakinan ini, orang-orang mengendalikan hidup mereka sendiri dan hanya membutuhkan aplikasi diri untuk menghindari menjadi miskin.
Hasbullah (2006:16) juga mengungkapkan bahwa kemiskinan terjadi bukan semata karena pendidikan yang rendah, akses sumberdaya ekonomi terbatas, dan kurang modal melainkan manusia juga hidup dengan tingkat survival yang banyak ditentukan oleh spektrum yang lebih luas yaitu nilai-nilai dan struktur organisasi sosial dimana mereka ada di dalamnya. Seseorang itu menjadi miskin tidak terpisahkan dari sitem sosial yang berlaku yang telah membentuk budaya kemiskinan.
Tetapi tidak semua orang menyetujui pandangan ini. Masih banyak faktor seperti masalah ekonomi, politik, struktur sosial, bencana alam, dan hal-hal lain yang dapat menyebabkan kemiskinan.
Namun salah satu penelitian McClelland (dalam Buck, 1988:383) ternyata mendukung pandangan masyarakat Amerika bahwa kemiskinan berkaitan dengan kualitas psikis individu. McClleland mencoba menunjukkan bahwa ajaran Protestan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kebutuhan berprestasi di antara para pengikutnya. Ia mengemukakan bahwa ideologi Protestan yang cenderung mendorong orang tua untuk menekankan kemandirian dan keunggulan sejak usia awal membuat kebutuhan berprestasi semakin tinggi. Dia juga berpendapat bahwa hal ini dapat digeneralisasikan pada kebudayaan lain dan tingkat ekonomi lainnya.
McClelland melakukan beberapa penelitian dengan tempat dan subyek yang berbeda untuk membuktikan hubungan tingkat pertumbuhan ekonomi dan achievement motivation (motivasi berprestasi) seperti menggunakan nilai-nilai dalam buku cerita anak-anak, analisis literatur Yunani kuno, tingkat konsumsi listrik dan lain-lain. Secara keseluruhan hasil penelitian yang dilakukan McClelland konsisten dengan tesis bahwa nilai-nilai budaya tertentu mendorong kebutuhan berprestasi dan kebutuhan ini merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Buck,1988:384). Sehingga dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan meningkatkan motivasi berprestasi seseorang untuk keluar dari kemiskinan.
McClelland (1953:79) memberikan pengertian motivasi berprestasi sebagai suatu usaha untuk mencapai kesuksesan, yang bertujuan berhasil dalam persaingan dengan berpedoman pada ukuran keunggulan tertentu. Eccles (2002) menyatakan bahwa motivasi berprestasi memiliki hubungan dengan nilai dan ekspektansi kesuksesan.
Menurut Rokeach (1980:160) nilai merujuk pada kriteria untuk menentukan tingkat kebaikan, keburukan dan keindahan. Nilai (Value) merupakan pikiran-pikiran yang dimuat secara afektif tentang objek, ide-ide, tingkah laku, dan lainnya, yang menentukan tingkah laku, tapi tidak wajib untuk melakukannya. Nilai-nilai kemadirian, keunggulan dan semangat berprestasi, perlu ditanamkan sedini mungkin, sehingga pada saat usia seseorang memasuki usia produktif mereka dapat menghasilkan keluaran yang baik disertai sikap dan ketahanan mental berusaha yang matang.
Eccles (dalam Eccles & Wigfield, 2002, Wigfield, Tonks, & Eccles, 2002) memberikan definisi ekspektansi kesuksesan (expectatancy for success) sebagai keyakinan individu tentang bagaimana mereka dapat melakukan sesuatu di masa depan di mana keyakinan tersebut didasari oleh kemampuannya yang dimiliki. Keyakinan seperti ini sangat penting untuk memotivasi seseorang meraih keberhasilan. Dukungan terhadap pernyataan ini sampai sekarang dapat dilihat dengan banyaknya buku tentang kesuksesan yang mengemukakan bahwa kunci kesuksesan ditentukan oleh keyakinan, harapan, keinginan, motivasi, impian (Elfiki, 2003, Schwartz, 1996).
Seperti telah diungkapkan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang pelik. Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor dan memberi dampak negatif pada banyak sektor, di mana beberapa faktor membentuk siklus bolak-balik yang sukar putus. Hasbullah (2006:17) mengatakan bahwa penaggulangan kemiskinan hanya akan membawa hasil jika dilakukan gerakan bersama oleh setiap komponen pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, LSM dan masyarakat. Dan mengingat bahwa penting bagi masyarakat miskin memiliki komponen psikologis yang kuat seperti motivasi berprestasi yang tinggi, nilai-nilai yang positif dan harapan yang tinggi untuk sukses sebagai kekuatan dorongan untuk keluar dari kemiskinan, maka upaya pembentukan kualitas psikologis demikian penting untuk dilakukan.
b. Pendidikan di Indonesia
Kualitaspendidikan di Indonesia saatinisangatmemprihatinkan.Inidibuktikanantara lain dengan data UNESCO (2000) tentangperingkatIndeksPengembanganManusia (Human Development Index), yaitukomposisidariperingkatpencapaianpendidikan, kesehatan, danpenghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurutsurvei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasiona ltetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Kualitaspendidikan Indonesia yang rendahitujugaditunjukkan data Balitbang (2003) bahwadari 146.052 SD di Indonesia ternyatahanyadelapansekolahsaja yang mendapatpengakuanduniadalamkategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dandari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antaralain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
- Rendahnyasaranafisik,
- Rendahnyakualitas guru,
- Rendahnyakesejahteraan guru,
- Rendahnyaprestasisiswa,
- Rendahnyakesempatanpemerataanpendidikan,
- Rendahnyarelevansipendidikandengankebutuhan,
- Mahalnyabiayapendidikan.
BIAYA PENDIDIKAN DAN DAMPAKNYA BAGI PESERTA DIDIK
Seperti telah diungkapkan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang pelik. Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor dan memberi dampak negatif pada banyak sektor, di mana beberapa faktor membentuk siklus bolak-balik yang sukar putus. Hasbullah (2006:17) mengatakan bahwa penaggulangan kemiskinan hanya akan membawa hasil jika dilakukan gerakan bersama oleh setiap komponen pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, LSM dan masyarakat. Dan mengingat bahwa penting bagi masyarakat miskin memiliki komponen psikologis yang kuat seperti motivasi berprestasi yang tinggi, nilai-nilai yang positif dan harapan yang tinggi untuk sukses sebagai kekuatan dorongan untuk keluar dari kemiskinan, maka upaya pembentukan kualitas psikologis demikian penting untuk dilakukan.
Compassion merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau yayasan sosial yang bergerak dalam usaha mengentaskan kemiskinan melalui program Pusat Pengembangan Anak (PPA). Program ini membiayai, membina, memberikan bantuan pendidikan intelektual dan pembinaan psikologis kepada anak-anak (tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah dasar) dan remaja (tingkat sekolah menengah pertama dan mengengah atas) yang orang tuanya masuk dalam kategori miskin. Sasaran program ini adalah untuk mengusahakan pengembangan rohani, pengembangan jasmani, pengembangan kognitif serta pengembangan sosio-emosional anak. Dengan usaha ini diharapkan agar anak-anak dan remaja miskin tersebut dapat memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan dan dapat ikut membangun bangsa.
Namun berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, pada kenyataannya banyak remaja miskin yang di bina dalam Pusat Pengembangan Anak Yayasan Compassion masih memiliki motivasi berprestasi yang rendah. Ada kemungkinan keterbatasan ekonomi dianggap sebagai halangan besar bagi masyarakat miskin untuk berambisi merealisasikan dorongan dan kebutuhan untuk maju sehingga ekspektansi remaja ini terhalangi. Karena mereka menderita kemiskinan maka seolah-olah mereka tidak berdaya untuk mencapai cita-cita yang tinggi, sehingga cenderung memilih cara hidup pasrah, mengalir dan hanya menjalani apa yang ada. Bahkan hal ini lebih diperparah dengan adanya strereotipe budaya yang cenderung membatasi. Kuntoro (1995:44) mengungkapkan bahwa “dalam budaya masyarakat miskin seperti di Jawa, motivasi dan kebutuhan untuk maju yang melebihi batas seolah-olah tidak disetujui umum, sebagaimana ungkapan “Cebol Nggayuh Lintang”. Ungkapan ini menunjukkan sesuatu yang tak masuk akal jika orang miskin mempunyai cita-cita tinggi”. Atau mungkin salah satu penyebab kurangnya motivasi berprestasi miskin ini dikarenakan nilai-nilai budaya kemiskinan yang terinternalisasi dari lingkungan.
Menurut Mahmud (1989) masa remaja merupakan masa yang penting bagi perkembangan prestasi karena selama masa remaja inilah remaja membuat keputusan penting sehubungan dengan masa depan pendidikan dan pekerjaan. Prestasi di sekolah dan di dalam pekerjaan sangat terkait. Berprestasi baik di sekolah dan di dalam pekerjaan sangat terkait. Berprestasi baik di sekolah pada umumnya meratakan jalan untuk memperoleh pekerjaan yang baik pula.
Selain mementingkan prestasi, Piaget (dalam Santrock, 1995:10) menambahkan bahwa salah satu ciri pemikiran operasinal formal remaja adalah bahwa pada tahap perkembangannya, remaja memiliki pemikiran idealis. Dalam pemikiran yang idealis ini, remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal mereka dan orang lain dengan menggunakan standar-standar. Sementara pada masa anak-anak lebih berpikir tentang apa yang nyata dan apa yang terbatas, selama masa remaja, pemikiran-pemikiran sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan. Sukanto (1996:10) juga menambahkan salah satu ciri remaja adalah menginginkan sistem nilai dan kaidah yang serasi dengan kebutuhan atau keinginannya tidak selalu sama dengan sistem nilai dan kaidah yang dianut oleh orang dewasa. Bila melihat ciri-ciri remaja ini ada kemungkinan remaja miskin tidak tergantung pada keadaan yang ada di lingkungan karena cenderung menuruti pemikiran dan nilai-nilai pribadi.
Berdasarkan uraian di atas terdapat pemikiran yang bertentangan. Apakah budaya kemiskinan (culture of poverty) yang umumnya ada dalam lingkungan masyarakat miskin dan stereotip orang miskin sulit maju mempengaruhi ekspektansi kesuksesan dan nilai kesuksesan serta motivasi berprestasi remaja miskin atau tidak mempengaruhi ekpektansi kesuksesan, nilai kesuksesan, serta motivasi berprestasi remaja miskin karena dalam tahap perkembangannya remaja cenderung memiliki pemikiran idealis yang sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan dan mengikuti sistem nilai pribadi sesuai keinginannya meskipun bertentangan dengan yang dianut oleh orang dewasa.
KESIMPULAN DAN SARARAN
Karena motivasi berprestasi berhubungan dengan nilai dan ekspektansi terhadap kesuksesan, maka remaja miskin disarankan mulai banyak mengimajinasikan keinginan di masa depan, banyak membaca / memperhatikan pengalaman orang-orang sukses sehingga menemukan inspirasi, mulai menyusun rencana masa depan, memupuk keyakinan diri dengan berfikiran positif, mendiskusikan dengan orang tua atau pihak yang dapat membantu menemukan solusi guna mengatasi kesulitan untuk sukses dan lainnya.
Hubungan keluarga yang positif beserta dorongan orang tua yang simpatik dapat mengatasi pengaruh negatif dari keadaan sosial-ekonomi yang tidak baik, maka adalah penting bagi orang tua remaja miskin untuk menunjukkan sikap yang hangat dan suka memotivasi, menaruh minat pada kemajuan anak-anaknya, dan menunjukkan gairah melihat anak-anaknya berhasil melakukan sesuatu sehingga walaupun kondisi kemiskinan membelenggu namun motivasi berprestasi anak tetap bisa tinggi.
Seperti yang telah diuraikan di atas, beberapa contoh saran penanaman nilai kesuksesan, maupun ekspektansi anak terhadap kesuksesan yang dapat dilakukan orang tua diantaranya adalah agar orang tua sering membicarakan contoh-contoh kesuksesan kepada anak, mendiskusikan harapan-harapan anak di masa depan dan menghin dari diri untuk mematahkan keyakinan diri anak meskipun terkadang terlihat mustahil sebaliknya mendorong semangat anak atau bahkan memberi solusi agar anak berhasil melakukan apa yang dicita-citakannya.
Aspek psikologis negatif seperti culture of poverty atau mental miskin bangsa Indonesia diakui beberapa kalangan terdapat dalam masyarakat Indonesia, untuk itu adalah pentingnya menerapkan pendekatan psikologi untuk mengentaskan kemiskinan sebagai salah satu solusi yang perlu ditangkap oleh pemerintah, sehingga pemerintah / pemerhati masalah lingkungan tidak hanya memikirkan pembangunan apek fisik seperti lapangan pekerjaan, gedung sekolah, area transmigrasi sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan namun juga memikirkan program pengentasan kemiskinan melalui pembinaan psikologis. Salah satu contoh sederhana yang dapat dilakuakan pemerintah adalah dengan menggalakan iklan layanan masyarakat yang memberipesan agar memacu keinginan untuk sukses, menekankan pentingnya keyakinan diri dan lainnya.