Tan Malaka |
Tan Malaka
mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat di asal kelahiranya, dan
melanjutkan sekolah guru pribumi (Inlandsche
Kweekschool voor Onderwijzers) di Bukit Tinggi, Setelah menyelesaikan
pendidikan Kweekschool ia melanjutkan pendidikannya di Harleem, Belanda pada
1913. Nilainya yang cukup memuaskan dan hubungannya yang bagus dengan gurunya
menjadikan mereka bersimpati pada Tan Malaka. Mereka rela mengumpulkan Rp. 50
tiap bulan untuk membantu Tan Malaka dalam studi lanjutnya di Belanda (Tan
Malaka,2008: 34).
Selama mengenyam
pendidikan inilah Tan Malaka mulai berkenalan dengan buku-buku filsafat karya
pemikaran Jerman, Nietzche dan buku-buku tentang revolusi Prancis dan Amerika.
Tan Malaka juga sangat bersimpati dengan pergerakan yang dilakukan kaum buruh
komunis Rusia yang terjadi pada bulan oktober 1917, dan mulai berkenalan dengan
buku-buku yang berkaitkan dengan Revolusi Rusia, seperti Het Kapital karya Marx, Engels, dan Kautsky (Poeze, 2000:71).
Kemudian Tan
Malaka kembali ke Indonesia dan menjadi guru bagi anak-anak kaum buruh di perkebunan
Sumatera, tepatnya di Deli dari Desember 1919 sampai Juni 1921. Pengalamannya
bergaul dengan kaum proletar inilah yang makin memantapkan Tan bergerak dalam
bidang pendidikan. Dari Deli ia menuju Semarang pada Juli 1921, tujuannya
adalah untuk mendirikan perguruan yang sesuai dengan keperluan dan jiwa rakyat
Murba masa itu. Rakyat Murba adalah sebutan Tan Malaka untuk kaum proletar. Di
Semarang inilah Tan Malaka dekat dengan Vereniging
van Spoorden Tram Personel (VSTP) atau Serikat Buruh Kereta Api yang waktu
itu diketuai oleh Semaun, yang kemudian mengetuai Partai Komunis Indonesia
(PKI). Sebelumnya PKI bernama Indische Sociaal Democratische Partai (ISDP) yang
didirikan kaum sosialis revolusioner Belanda pada 1914. Ketika di Semarang
itulah Tan dekat dengan Sarekat Islam (SI) Tjokroaminoto. Setibanya Tan Malaka
di Semarang, Semaun mengadakan rapat istimewa anggota SI Semarang untuk
mengusulkan mendirikan perguruan yang dicita-citakan olehnya (Tan Malaka, 2008:
93-94).
Sekolah rakyat
yang didirikan, biasanya juga disebut sekolah Tan Malaka, segera mendapat
tempat dihati rakyat, disamping bayaran yang murah sekolah tersebut sesuai
dengan keadaan jiwa rakyat jelata yang sedang tertindas. Sehingga dimana-mana
didirikan sekolah model Tan Malaka, bersamaan dengan kemajuan sekolah rakyat
tersebut, dalam wilaya politik sedang berkecamuk perbedaan dalam serikat Islam
antara kelompok SI dan PKI.
Tan Malaka
adalah orang yang tegas termasuk ketika ia berani menjukan sikapnya, Menurut
sejarahwan Anhar Gonggong, Tan Malaka adalah tokoh yang dekat dengan
Tjokroaminoto. Tan Malaka memiliki keyakinan yang sama bahwa Islam adalah
potensi besar untuk membawa kaum bumiputra menuju kemerdekaan. Hal ini terbukti
dengan pembentukan SI-merah oleh Tan Malaka, karena ia tidak ingin Islam
dipertentangkan dengan komunisme. Karena pemikirannya ini, dan juga ketidak sepahamannya
untuk melakukan revolusi PKI tahun 1926 menyebabkannya harus didepak dari PKI
dan cap sebagai Trostky melekat pada
dirinya.
Bagi Tan Malaka
pemberontkan yang direncanakan PKI kelompok Prambana bukan saat yang tepat.
Digambarkan oleh Tan Malaka dalam massa
aksi, moment perubahan massa aksi menjadi pemberontakan bersenjata timbul
dengan sendirinya, sebagai hasil dari berbagai maca keadaan, bukan direncanakan
terlebih dahulu. Hal tersebut disebabkan oleh karena masa hanya berjuang untuk
kebutuhan yang terdekat dan sesuai dengan kepentingan ekonomi. Karena mereka
ditinggal oleh masa, sebab dari awal mereka telah memisahkan diri dari masa
(Malaka. 2000:95).
Penggalan pidato
Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional keempat pada tanggal 12 Nopember
1922 dapat menjelaskan bagaimana sikap Tan Malaka sebagai tokoh komunis
terhadap Islam. Pada pidato tersebut, ia menentang thesis Lenin yang diadopsi
pada kongres kedua, yang menekankan perlunya sebuah “Perjuangan Melawan Pan
Islamisme”. Di sini Tan Malaka mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih
positif. Berikut penggalan pidato Tan Malaka:
“Pan-Islamisme
adalah sebuah sejarah yang panjang. Pertama saya akan berbicara tentang
pengalaman kita di Hindia Belanda di mana kita telah bekerja sama dengan kaum
Islamis. Di Jawa kita memiliki sebuah organisasi yang sangat besar dengan
banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara tahun 1912 dan
1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat
juta. Itu adalah sebuah gerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara
spontan dan sangat revolusioner.”
(https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1922-PanIslamisme.htm
diunduh pada 24 Maret 2014 : Pkl. 17.41 WIB)
Dalam Pidatonya, Tan Malaka menyampaikan
usulan pada komintren mengenai pentingnya kerjasama kaum komunis dengan gerakan
Pan Islamisme di negara-negara jajahan. Menurutnya Pan Islamisme bukanlah
sebuah gerakan keagamaan, melainkan sebuag gerakan perjuangan kemerdekaan
melawan kekuasaan imprialisme. Tan Malaka mengingatkan bahwa kaum muslim yang
berjumlah 250 juta orang (pada saat itu), dapat menjadi sebuah kekuatan besar
yang dapat dirangkul dalam perjuangan melawan kekuasaan imperialism di dunia,
terutama di tanah jajahan (Malaka, 2000:313-316).
Dilain
kesempatan ketika terjadi konflik dalam tubuh serekat Islam, seorang bertanya
pada Tan Malaka, apakah dia seorang komunis yang anti agama (atheis)? Tan
Malaka menjawab dengan bahasa Belanda :
”Als ik voor God sta, ben ik Moslim, maar als ik voor de mensen sta, ben
ik geenn moelim, omdat heeft gezegd date er onder de mensen vele duivels zijn”
(jika saya berdiri dihadapan Tuhan, saya adalah seorang muslim, tetapi jika
saya berhadapan di depan manusia, saya bukan muslim sebab bukankah Tuhan pernah
mengatakan bahwa diantara manusia itu banyak setannya) (Poeze,2000:315).
Banyak petinggi Komintern yang kemudian
memusuhinya. Perbedaaan pandangan Tan Malaka dan para petinggi komintern lain.
Mayoritas tokoh Komintern menilai gerakan Islam sebagai pengehalang dan juga
sisa-sisa feodalisme yang harus dibasmi, sedangkan Tan Malaka sangat tidak
setujuh. Terlepas dari keyakinan yang dipegang oleh Tan Malaka, Menurut Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya
menyebutkan "Tan Malaka Bapak
Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik
Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan
Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…." Hal ini diamini bila
kita bandingkan ketika Tan Malaka dengan bukunya yang berjudul Near de Republiek Indonesia yang pertama
kali menggagas berdirinya republik Indonesia pada April 1925 di Kowoloon Cina,
mendahului karya Moh. Hatta dengan Mencapai
Indonesia Merdeka pada 1930 di Belanda dan Soekarno di tahun 1932 dengan Kearah Indonesia Merdeka (Kutoyo,
2000:213).
Tan Malaka
menghabiskan waktu 20 tahun dalam masa pelarian dan buronan internasional.
Sejak ditangkap pada 13 Februari 1922 dengan tuduhan mengganggu Rest en Orde (keamanan dan ketertiban)
bagi pemerintahan Belanda di Indonesia akibat gerakan buruh yang gencar ia
lakukan. Tan Malaka tiba di Belanda pada Maret 1922, Politik Pembuangan adalah
politik yang dilakukan pemerintahan Kolonial Belanda untuk memisahkan
tokoh-tokoh pergerakan dengan masanya.
20 Tahun Dalam Pengasingan Tan Malaka (1922-1942)
Tan Malaka
menjadi korban politik pembuangan yang dilakukan Belanda dengan tuduhan
mengganggu keamanan dan ketertiban umum, di Belanda Tan Malaka di sambut Partai
Komunis Belanda (CPH). Tan Malaka di jadikan juru kampanye sekaligus dicalonkan
sebagai anggota Parlemen Belanda (Prabowo, 2002:17). Ditahun yang sama Tan
Malaka menjadi duta Komintren wilaya Asia Tenggara pada Kongres Komunis
Internasional (Komintern) IV di Moskow. Selanjutnya pengembaraan dan pelarian
Tan Malaka dari kejaran polisi rahasia kaum Kolonial dari satu negara ke negara
lainnya. Ia pun sempat bertemu berbagai tokoh pergerakan di Asia seprti Dr. Sun
Yat Sen yang dinilainya sebagai borjuis kecil dan Manuel Quezon, Presidan
Pertama Republik Filipina yang membela Tan Malaka saat di tangkap Inggris, saat
Tan Malaka bersembunyi di Filipina sebagai wartawan.
Walau menetap
dinegeri orang totalitas perjuangan Tan Malaka pada masalah-masalah pergerakan
nasional untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada esensinya
pemikiran-pemikaran dan perjuangan Tan Malaka terpusat kepada tujuan bagaimana
memerdekaan bangsanya sekaligus merombak secara total seluruh tatanan ekonomi,
politik, sosial dan budaya. Jauh sebelum Sukarno menulis Indonesia menggugat
pada tahun 1932 yang berisi arti penting kemerdekaan bagi bangsa Indonesia
ataupun Hatta dengan Kearah Indonesia Merdeka pada 1930, Tan Malaka sudah
menulis pamplet berjudul Naar De Republik (Menujuh Republik Indonesia) sebagai
konsepsi menujuh kemerdekaan Indonesia yang terbit pertama kali di Kowloon
Cina, April 1925 semasa pengasinganya.
Pada Juni 1927
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Thailand.
Dan PARI menolak berkoordinasi dengan Komintren (Poeze, 1988:356). Bersama Soebakat dan Djamaluddin Tamin
mengumumkan PARI bahwa partai ini independen dari Kominter maupun PKI.
Perjuangan PARI berdasarkan pamflat Near
de Republiek Indonesia sebagai gerakan bawah tanah untuk memimpin jalanya
Revolusi Indonesia menggantikan peran PKI. Namun PARI sebagai gerakan kiri di
Indonesia dan sebagai grakan Revolusi tidak bias berkembang di Indonesia
setelah dua tokoh kepercayaan Tan Malaka tertangkap.
Keberadaan PARI yang di bentuk Tan Malaka dan
sifat independen yang di ambil PARI, menjadikan Tan Malaka tidak hanya sebagai
musuh dan ancaman bagi pemerintahan kolonian namun juga menjadi musuh utama PKI
dibawah pimpinan Muso. Selanjutnya sejak
tahun 1927 sampai 1932 kegitan politik Tan Malaka semakin terhambat. Tan
Malaka lebih sering berada dalam pengejaran intel Imprealisme Belanda, Inggris
dan Amerika.
Setelah 20 tahun
dalam pelarian di luar negeri Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1942
pada masa Jepang mendaratkan diri dan berkuasa di Indonesia. Sekembali ke
Indonesia Tan Malaka sempat menuliskan karya pentingnya di balik kehidupan
serba kekurangan yang ia alami, yakni MADILOG (Materialisme Dialektika dan
Logika) yang dimulai sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Buku yang mengajak
dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berfikir ilmiah, dan
meninggalkan cara hidup yang dogmatis. Selama pendudukan Jepang Tan Malaka
sering menjalin kontak dengan tokoh pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, Adam
Malik, Maruto, Pandu Kartawiguna dan lain-lain.
Sampai menjelang
Proklamasi 17 Agustus 1945, memang Tan Malaka tidak terlalu ambil bagian secara
langsung dalam antusias medan euforia kemerdekaan dan ini diakuinya sebagai
penyesalan terbesar dalam hidupnya (Fa’al 2005 :135-137). Perjuang Tan Malaka
di mulai setelah kedatangan kembali Belanda dan sekutu yang ingin kembali
merongrong kekuasaan di Indonesia.
Tan Malaka
adalah satu dari sedikit anak bangsa yang konsisten memegang prinsip ideologis
yang ia yakini hingga akhir hayatnya. Setelah kisah hidupnya dibungkam oleh
Orde Baru, termasuk karya-karyanya dilarang beredar, pada pascareformasi nama
Tan Malaka bergaung kembali. Tan Malaka pada masa perjuangan kemerdekaan sering
disebut-sebut dari mulut ke mulut, namun sulit untuk mengetahui persis
keberadaannya, hingga relatif orang hanya dapat mengetahui dari karya-karyanya.
Hal itu karena Tan Malaka lebih banyak menyamar dengan berganti-ganti nama dan
berpindah tempat, sebagai konsekuensi dari gerakannya yang tidak mau kompromi
dengan penjajah -padahal sebagian dari pejuang kemerdekaan melakukan kompromi
juga konsekuensi dari gagasan-gagasan provokatif revolusionernya yang telah ia
tuangkan dalam karya-karyanya yang dibaca secara sembunyi-sembunyi (Tempo, 17
Agustus 2008: 26). Dalam
otobiografi pendek yang ia tulis dalam Dari Penjara ke Penjara terlihat juga
bahwa ia betul-betul membumi dan membaur dengan rakyat, buruh, kelas pekerja,
dan mereka yang selama ini diperjuangkan oleh Tan Malaka untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Tan Malaka adalah potret intelektual organik,
intelektual yang terlibat langsung dalam perjuangannya, tidak sekadar berwacana
melalui tulisan saja. Ia betul-betul menyelami kehidupan kaum proletar yang
diperjuangkannya, menjadi bagian darinya dengan menjadi buruh, pekerja keras, tukang
ketik, dan lainnya.
Banyak
ceita tentang sosok Tan Malaka dilukiskan lewat novel berjudul Patjar Merah Indonesia yang merupakan
cerita saduran dari The Scarlet Pimpernet
karangan Baroness Orczy yang menceritakan kisah Sir Percy Blakeny dan Revolusi
Prancis. Novel setengah fiksi yang menceritakan perjalanan perjuangan
revolusioner dalam kesederhanaan, tidak mabuk untuk menjadi terkenal, menjadi
bintang pahlawan yang dielu-elukan kedatangannya.
Tan Malaka Dan Konsep MADILOG
Ketika bicara soal Tan Malaka
mungkin tidak bisa dilepaskan dengan ajaran Marxisme yang lekat oleh dirinya
sehingga sampai sekarang di cap sebagai seorang komunis, namun kita tidak dapat
mengabaikan sejauh mana jejak langkah dan konteks sosio-historis Tan Malaka
yang terlahir dari tradisi Islam puritan di Pandan Gadang, Suliki Sumatera
Barat pada 1897.
Dalam wawancara majalah detik oleh keponakan Tan Malaka,
Zulkifi Kamarudin (Majalah Detik, 2014: 99), mengenai keislaman Tan Malaka,
menyatakan Tan Khatam dan hafal Al-Qur’an karena sejak kecil belajar mengaji di
surau dari cerita Nenek-nenek mereka mengenai sosok Tan Malaka. Sebagaimana
banyak litelatur, kebudayaan Minangkabau sangat kental dengan nuansa Islami. Hal
ini dibuktikan dengan semboyan adat minang yaitu; “adat basandi syariat, syariat basandi kitabullah” (adat bersendikan
syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah). Tan Malaka menggambarkan keadaan
keluarganya dengan menulis:
”sumber yang saya peroleh untuk pasal ini (agama Islam)
adalah sumber hidup. Seperti sudah saya lintaskan dahulu, saya lahir dalam
keluarga Islam yang taat. Ketika sejarah Islam di Indonesia bisa dikatakan
masih pagi, diantara keluarga tadi sudah lahir seorang alim ulama, yang sampai
sekarang dianggap keramat. Ibu-Bapak saya keduanya taat, takut pada Allah, dan
menjalankan sabda Nabi. (Tan
Malaka, 2010: 381-382).”
Masa kecilnya, Tan Malaka adalah
seorang anak yang pemberani, nakal dan keras kepala. Alam Minangkabau yang asri
penuh pemandangan alam; gunung bebukitan dan sungai, menjadi guru bagi Tan
Malaka untuk menempa mental dan fisiknya. Alam takambang jadi guru merupakan ungkapan filosofis Minangkabau yang bermakna
dialektis bahwa seseorang harus dapat membaca alam sekitar, orang
sekitar,dan belajar dari apa yang mereka
tampakkan, dimanapun berada kita dapat menjadikannya pelajaran dalam memaknai
dan mejalankan kehidupan.
Berkat
kecemerlangan otaknya, dia menjadi salah satu dari sedikit kaum pribumi yang
berhasil menimba pendidikan Barat. Tercatat sebagai mahasiswa Rijks
Kweekschool, Harlem, Belanda pada 1913 hingga 1919 sekaligus menjadi awal
perkenalannya dengan teori Marxisme lewat karya-karya Marx-Engels. Pematangan
intelektualitasnya kemudian dibuktikan dalam masa kepulangannya sebagai guru di
Tanjung Morawa dimana dia melihat realitas kehidupan kaum buruh perkebunan yang
tertindas sebagai dampak kebijakan pemerintah jajahan pada waktu itu (Rambe,
2001: 20-24).
Di sini lah pergulatan gagasan yang
dihadapkan pada realitas sosial yang pada akhirnya membawa arti penting bagi
penegasan perjuangan Tan Malaka menuju Republik Indonesia. Perjalanan karir
politiknya kelak dan kekayaan gagasan dalam karya-karyanya sedikit banyak
dilandasi atau paling tidak dipengaruhi oleh teori yang dia dapat dan realitas
sosial-politik pada saat itu. Dalam latar sosio-historis itulah, Tan Malaka
membangun tradisi kirinya.
Pemikiran
Tan Malaka secara konsisten, didasarkan pada filsafat dan pandangan hidup
Madilog yang merupakan landasan dasar dan harus disadari oleh kaum proletar Indonesia
untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Madilog hadir, berangkat dari keprihatinan
Tan Malaka kepada kaum proletarian yang terlalu tenggelam dengan dunia takhayul
dan mistis yang menjadikan mereka tidak realistik dan tak punya nyali untuk
bergerak melawan imperalisme. Kaum proletarian hanya bergantung, enggan berubah
dan terkesan menunggu datangnya Ratu Adil yang akan membebaskan mereka pada
keterpurukan, yang mana cerita itu belum tentu benar adanya (takhayul). Dalam
filsafat pemikirannya, Tan Malaka menyebut masalah pelik ini sebagai logika mistika. Untuk mengatasi hal
tersebut, Tan Malaka menyodorkan tiga hal sebagaisenjata penangkalnya, yakni Materialisme, Dialektika dan Logika
(MADILOG).
Materialisme,
menekankan pada keterarahan perhatian manusia pada kenyataan, bukan kepada
khayalan dan takhayul. Logikanya sederhana, dari pada kita sibuk mencari
penyebab tentang segala kejadian di alam gaib, lebih baik kita mencari
kenyataan bendawi sendiri. Dalam mengkaji realitas, maka diperlukan ilmu pengetahuan
yang berbasis pendekatan ilmiah. Dengan begitu, paraproletar Indonesia akan
berpikiran maju dan dapat keluar dari keterpurukan. Namun, materialisme akan
dapat optimal apabila disertai oleh dialektika.
Dialektika
menjelaskan bahwa realitas tidak dilihat sebagai sejumlah unsur terisolasi yang
sekali jadi lalu tak pernah berubah. Dialektika mengatakan bahwa segala sesuatu
bergerak maju melalui langkah-langkah yang saling bertentangan. Khususnya ia
menyebutkan dua hokum dialektika: hukum penyangkalan dari penyangkalan dan hukum
peralihan dari pertambahan kuantitatif ke perubahan kualitatif dan kesatuan
antara yang bertentangan.
Logika
oleh Tan Malaka secara eksplisit membandingkan dan menggantikan logika mistis
menjadi logika realitas. Dari madilog, Tan Malaka menunjukkan betapa lebih
mampu Madilog daripada logika gaib dalam menjelaskan segala kenyataan penting
yang kita hadapi. Seperti perkembangan alam raya, evolusi organisme, sejarah
manusia dan lain sebagainya (Suseno, 2000).
Menurut
Tan Malaka, seorang pemimpin haruslah seorang yang cerdas dan mampu memimpin
suatu pergerakan revolusioner. Ia dapat memberikan pertimbangan dan
memperkirakan arah perjuangan yang akan berjalan. Di samping itu, seorang
pemimpin haruslah dapat menyelami kemauan rakyat dan dapat mengubah kemauan
masa menjadi perbuatan masa. Namun untuk menggerakkan suatu masa haruslah
memiliki suatu partai revolusioner. Partai inilah yang nantinya akan
mempertemukan orang-orang yang memiliki persamaan pandangan dalam revolusi. Untuk
mencapai kemenangan revolusi, harus memperhatikan dua syarat berikut : pertama,
kondisi objektif, yaitu suatu tingkatan sistemproduksi yang tertentu dari masyarakat
dan taraf tertentu dari kesengsaraan rakyat. Sedangkan yang kedua adalah
kondisi subjektif, yaitu kesediaan rakyat untuk membuat sebuah partai revolusioner
yang berdisiplin dan mengakar dalam masa rakyat (Rambe, 2003: 201).
Tan Malaka
adalah model seorang intelektual organik dalam istilahnya Gramsci, intelektual yang tidak sekadar piawai bermain teori, namun
juga mampu membumi dan bergerak di akar rumput. Ia tidak sekadar menuangkan
gagasannya dalam buku, pamflet, dan karya tulis lainnya sebagai media
perjuangan, namun ia juga turut bergerak dan berjuang secara fisik dengan
bergerilya, mengagitasi dan memimpin gerakan perlawanan melawan penjajah.
Di kala pemimpin
perjuangan kemerdekaan lebih mengedepankan perjuangan fisik, ia tidak lupa
dengan kondisi masyarakat yang masih belum memiliki kesadaran intelektual
tinggi, yang tidak sekadar membutuhkan semangat perjuangan dari orasi pemimpin
perjuangan, tapi juga membutuhkan acuan perjuangan, panduan perjuangan,
penyemangat perjuangan dalam bentuk tertulis yang lebih tahan lama dan dapat
diwariskan dari orang ke orang lain, dari generasi ke generasi.
Namun semua yang
dilakukan Tan Malaka harus di bayar mahal, rezim berkuasa yang merasa terganggu
dan khawatir dengan pikiran-pikiran Tan Malaka dapat mengganggu stabilitas
nasional kemudian menenggelamkan dirinya dari pentas sejarah bangsa. Antipati
pemerintah terdahulu (Orde Baru) terhadap Tan Malaka agaknya karena
karya-karyanya banyak didasarkan pada paradigma berpikir Marxian, sedangkan
gagasan-gagasan itu relatif dekat dan bahkan menginspirasi komunisme,
stalinisme, leninisme. Hal tersebut
menjadikan rezim berkuasa melarang karya–karyanya dibaca kalangan umum dan
menenggelamkan peranan dalam perjuangan kemerdekaan.
PUSTAKA
Alfian. Tan
Malaka Ideologi Kesepian. Dalam buku “Manusia dalam Kemelut Sejarah”.
Editor Syafii Maarif,
Jakarta: LP3ES
Cribb,
Robert., dan Audrey Kehin. 2012, Kamus Sejarah Indonesia.
Komunitas Bambu, Jakarta
Jervis,
Halen. 1987. Tan Malaka: Pejuang Revolusi atau Manusia Murtad. Jakarta:
Yayasan Massa.
Kutoyo,
Sutrisno. 2004, Prof. H. Muhammad Yamin SH. ; Cita–cita dan Perjuangan Seorang Bapak Bangsa.
Jakarta : Mutiara Sumber Widya
Malaka, Tan 2008, Dari
Penjara Ke Penjara III
(EdisiKhusus 63 Tahun RI), Jakarta : LPPM Tan
Malaka
__________ 2000. Geriliya Politik Ekonomi,
Yogyakarta :Jendela
__________
1962, Menuju Republik Indonesia,
di lihat tanggal 23 Januari 2014
http://www.marxist.org.
___________
2010, Madilog: materialisme,
dialektika, dan logika,
Penerbit NARASI, Yogyakarta.
____________
2005, Muslihat : Merdeka 100 persen. Tanggerang: Marjin Kiri.
_____________
1987. Surat Kepada Rakyat. Jakarta: Yayasan Massa.
____________
1987, Thesis. Jakarta: Yayasan Massa.
____________
1987. Uraian Mendadak. Jakarta: Yayasan Massa.
Poeze,
Harry A. 2000, Tan Malaka ;Pergulatan Menujuh Republik 1897-1925,
Jakarta : PT Temprint
______________2008,
Tan
Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.Jakarta :YayasanObor
Indonesia
1 komentar:
Tan, tokoh kiri yang hebat..
http://vancivil.blogspot.co.id/
Posting Komentar