Mengapa
masyarakat di Nusantara, menyebut Nederland sebagai Belanda? Mungkin orang
Nederland sendiri akan bingung menjawabnya…
Sebelum
kita menjawab pertanyaan itu, mari kita kembali membuka lembaran sejarah, 360
tahun yang silam…
Mudzakarah
Ulama se-rumpun Melayu
Tidak
jauh dari kota Palembang, tepatnya di sekitar daerah Pagar Alam, pada
tahun 1650 M (1072 H), pernah berkumpul sekitar 50 alim ulama dari
berbagai daerah, seperti dari Kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka
dan sebagainya.
Tokoh
utama pertemuan itu, adalah Syech Nurqodim al Baharudin (Puyang
Awak), salah seorang keturunan dari Sunan Gunung Jati. Trahnya adalah
melalui puterinya Panembahan Ratu, yang menikah dengan Danuresia (Ratu Agung
Empu Eyang Dade Abang).
Hasil
dari Mudzakarah Ulama abad ke-17, yang dipelopori oleh Syech Baharudin,
antara lain:
1.
Memunculkan perluasan dakwah Islam. Dengan demikian, paham animisme yang masih
berkembang di masyarakat semakin berkurang dan terkikis.
2.
Munculnya kader-kader mujahid, yang mengadakan perlawanan terhadap penjajah
Eropa.
Dari
peristiwa Mudzakarah inilah, munculnya istilah Belanda sebagai
sebutan bagi bangsa Netherland, yang menjadi penjajah ketika itu.
Adapun makna kata Belanda, berasal dari kata belahnde (belah
= memecah, nde = keluarga).
Dan
dengan menyebarnya, istilah Belanda ke seluruh pelosok Nusantara,
menjadikan bukti bahwa hasil Mudzakarah tahun 1650M telah menjadi satu “Konsensus
Nasional“.
Sementara
disekitar tempat terjadinya peristiwa Mudzakarah, dinamai semende,
yang bermakna satu keluarga (seme = same = sama = satu; nde =
keluarga), yang merupakan lawan dari kata Belanda.
Siapakah
Syaikh Nurqodim al-Baharudin
Syech
Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari Putri Sulungnya
Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang.
Syech Nurqodim al-Baharudin kecil, beserta ketiga adiknya dididik dengan aqidah
Islam dan akhlaqul karimah oleh orang tuanya di Istana Plang Kedidai yang
terletak di tepi Tanjung Lematang.
Sewaktu
remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja
didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah beliau menyunting gadis dari
Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di kaki Gunung Dempo yang memiliki situs
Lempeng Batu berukir Hulu Balang menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah
Putih (lihat buku ”5000 tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin). Setelah
bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga dan sahabatnya
membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah yang direncanakan beliau
untuk menjadi Pusat Daerah Semende.
Menurut
salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH Kornawi Yacob Oemar-,
dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech Baharudin adalah pencipta adat
Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku rumahtangga Nabi Muhammad
SAW. Beliau juga pencetus falsafah ”jagad besemah libagh semende panjang”, yaitu
”Negara Demokrasi” pertama di Nusantara (1479-1850). Akan tetapi ”negara” itu
runtuh akibat peperangan selama 17 tahun (1883-1850) malawan kolonial Belanda.
Sebelum
ke Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan hidup satu zaman
dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di bahagian tengah dan selatan
Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa sebelum berdirinya Kerajaan Bintoro
Demak memiliki pengaruh di Pantai Utara Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul
Auliya, bahwa untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa-yaitu
Demak, maka ada 16 orang wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech
Baharudin dan beberapa wali dari Pulau Madura.
Dalam
musyawarah itu Sunan Giri menginginkan agar dibentuk suatu negara Kerajaan
dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja /sulthan dengan alasan negara baru
tersebut tidak akan diserbu balatentara Majapahit, mengingat Raden Fatah adalah
anak dari raja Majapahit. Konon dari 16 wali tersebut, 9 orang yang mendukung
pendapat ini dan tujuh orang yang berbeda pemahaman dalam strategi dakwahnya
termasuk Syech Baharudin.
Syech
Baharudin (Puyang Awak) menginginkan suatu daulah seperti Madinah al Munawarah
pada masa Rosulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan ummat Islam yang kala
itu jumlah belum banyak, beliau memutuskan untuk hijrah (melayur) ke Pulau
Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung Tua-ujung paling
selatan Pulau Sumatera-. Kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu daerah
Ketapang-Menggala-Komering-Palembang-Enim dan Tiba di Tanah Pasemah lalu
menetap disana tepatnya di Perdipe.
Disepanjang
perjalanan, sebagai seorang mubaligh beliau selalu mendatangi
tempat-tempat dimana masyarakat masih belum mengenal agamaTauhid dan akhlaqul
qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam dengan metode yang sangat
sederhana yaitu memepergunakan kultur budaya masyarakat setempat sehingga dapat
dimengerti dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat beberapa suku di perdalaman Sumatera Bagian Selatan,
Puyang Awak adalah penyebar agama Islam yang sangat kharismatik. Nama beliau
menjadi legenda dari generasi ke generasi terutama sikap beliau yang
menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua
makhluk ciptaan Allah.
Di
tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola hidup masyarakat sangat
jauh dari kehidupan yang islami.Adanya praktek-praktek perbudakan dikalangan
masyarakat.Perampokan dan penjarahan bagkan penculikan terhadap wanita dan
anak-anak dari suku-suku lain disekitar Basemah [dalam bahasa basemah disebut
’nampu’] untuk dijadikan budak [dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap
suatu kebanggaan. Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan ekor
kerbau dan sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan suatu pesta
pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan menyembelih puluhan ekor
sapi dan kerbau. Untuk menambah ’kebanggaan’ dari keluarga tersebut, maka
diumumkan bahwa yang punya hajatan juga akan ’menyembelih seorang pacal’. Suatu
bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Kota
Mekkah pada zaman nabi Muhammad SAW.
Pola
hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan biadab seperti itu, bukan hanya
diceritakan kembali secara turun-tumurun dari generasi ke generasi, melainkan
tercatat pula pada tulisan-tulisan kuno aksara ka-ga-ngayang dijadikan
benda-benda pusaka oleh tua-tua adat dari suku-suku sekitar Basemah, antara
lain di daerah Enim. Intinya memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu
waspada terhadap kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah
harta benda serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain itu Marco
Polo [abad12], membuat catatan khusus tentang Basemah yang berbunyi..’Basma,
where the people’s like a beast withuot law or religion….’ [basemah,
penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan atau agama ]
Puyang
Awak yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar, zalim tanpa hukum dan
agama tersebut, justru berpendapat bahwa di tanah basemah inilah tempat yang
tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci
Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH SWTkepada nabi Muhammad SAW, untuk
meng-agama-kan masyarakat yang belum beragama.
Akan
tetapi perlu kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh Puyang Awak dalam
menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak mempergunakan bahasa
Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa Pasemah yang cukup dikenal
sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga TUNGGUAN [Akhlakul
Karimah].
Hubungan
Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati
Mengutip
dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya
didapatkan data sebagai berikut.
Adalah
dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan Putri Rara
Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau Syaikh Dzathul
Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon dan mendirikan
Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja Siliwangi tersebut tidak mendapat izin
dari sang ayah, maka mereka melarikan diri ke Gunung Jati untuk belajar tentang
Islam. Setelah cukup lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh
untuk membuka hutan di selatan Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan
yang akhirnya menjadi ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal Alang-Alang”
dan Pangeran Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra Buana” sertadiangkat
sebagai pimpinannya.
Syaikh
Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan kepada kedua muridnya tersebut untuk
menunaikan haji ke Mekkah dilanjutkan dengan belajar Islam kepada Syaikh
Bayanillah. Akhirnya Rara Santang menikah dengan seorang penguasa Mesir
keturunan Bani Hasyim yang bernama Sultan Syarif Abdullah-dikenal juga dengan
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Rara Santang namanya diganti dengan
Syarifah Mudaim. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putra, Syarif
Hidayatullah dan adiknya Syarif Nurullah.
Setelah
Sultan Syarif Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh putra keduanya
Syarif Nurullah, karena putra pertamanya Syarif Hidayatullah tidak suka naik
takhta dan lebih memilih pulang ke tanah Jawa beserta ibunya untuk mendakwahkan
Islam. Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan
Gunung Jati yang bersama-sama Senopati Demak Bintoro, yaitu Fatahillah yang
melakukan penyerangan dan pengusiran Bangsa Portugis dari Sunda Kelapa.
Sedangkan
Pangeran Cakra Buana setelah tinggal tiga tahun di Mesir kembali ke Jawa dan
mendirikan negeri baru yaitu Caruban Larang. Prabu Siliwangi sebagai
penguasa Jawa Barat telah merestui tampuk pemerintahan putranya ini dan
memerinya gelar ”Sri Manggana”.
Dalam
perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati telah sampai ke negeri Cina, dimana
terdapat undang-undang yang melarang rakyatnya memeluk Islam. Disana beliau
membuka praktek sistem pengobatan. Setiap yang datang berobat diajarinya
berwudhu dan sholat. Orang cina kemudian mengenalnya sebagai sinshe dari
jawa yang sakti dan berilmu tinggi. Akhirnya banyak diantara penduduknya
memeluk Islam, termasuk seorang menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan
Kaisar Cina meminta Sunan Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang
bernama Ong Tien. Sunan Gunung Jati tidak mau mengecewakan sang
kaisar, maka pernikahan tersebut dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa
beserta Ong Tien.
Keberangkatannya
ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai murid Sunan Gunung Jati, Pai
Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan Gung Jati berangat lebih dahulu dan
singgah di Sriwijaya karena tersiar kabar bahwa adipati Sriwijaya yang berasal
dari Majapahit bernama Ario Damaratau Ario Abdillah (nama
Islamnya) telah meninggal dunia. Makam beliau dapat kita lihat sampai sekarang
di Jalan Ariodillah Palembang. Sedangkan Ario Abdillah ini adalah anak tiri
dari Fatahillah.
Karena
kedua putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka Sunan Gunung Jati
mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat Pai Lian Bang sebagai
adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pai Lian Bang tidak menolak
atas pengangkatannya, ia berkata : ”…seandainya bukan Sunan Gunung Jati
sebagai guruku yang menyuruhku, maka aku tidak akan mau diangkat menjadi
adipati…”.
Dengan
bekal ilmu selama menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang berhasil membangun
Sriwijaya. Pesantren dan madrasah benar-benar dikembangkannya dan beliau
menjadi Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan. Murid-muridnya cukup banyak yang
datang dari Pulau Jawa dan Sumateratermasuklah seorang cucu Sunan Gunung Jati
dari Putrinya Panembahan Ratu yang dinikahi oleh Danuresia (Empu Eyang Dade
Abang) yang bernama Syaikh Nurqodim al Baharudin (di sumsel dikenal dengan
Puyang Awak). Pada akhirnya setelah Pai Lian Bang wafat, Sriwijaya diganti nama
menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama PAI LIAN BANG.
Sumber Pustaka :