Berkaitan dengan Isra dan Mi’raj para teolog islam banyak berspekulasi tentang perjalanan ke langit pada malam itu, sebab hal itu menimbulkan beberapa kesulitan untuk memecahkanya. Ada yang berpendapat bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhani bukan jasmani, namun istri Nabi Aisyah, “Bahwa jasmaninya tidak hilang” di tentang semakin banyaknya kecenderungan untuk mengklaim bahwa perjalanan ini benar-benar secara jasmani, bahkan kaum Mu’tazilah menguatkan bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhaniah bukan jasmaniah. Namun mufasir Al-Qur’an kenamaan, Thabrani (awal abad ke-10), berpendapat bahwa perjalanan Nabi itu benar-benar terjadi secara jasmani, karena mereka lebih harfiyah, dan dalam Al-Qur’an sebagaimana ditekankan oleh Thabrani dengan jelas mengatakan “Allah telah memperjalankan hambaNya pada malam hari” dan “bukan jiwa hambaNya”.
Dan tidak mustahil ketika kejadian Isra Mi'raj ini banyak ditentang oleh kaum rasionalis dan mereka berdalih "mana mungkin seseorang mampu berjalan melebihi kecepatan sinar". Akan tetapi kenyataan ilmiah membuktikan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem yang lain. Bahwa kebutuhan waktu untuk mencapai suatu sasaran berbeda satu dengan yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama di bandingkan dengan suara, demikian juga suara lebih lama di bandingkan dengan cahaya, sehingga kita dapat berkata bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran. Di samping itu juga bahwa Manusia memiliki keterbatasan berpikir, dan berbatas pada eksperimen atau melakukan pengamatan terhadap gejala-gejala alam yang dapat dilakukan oleh siapa, kapan dan dimana saja.
Isra Mi’raj juga memiliki makna penting dalam ruang imajinasi umat Islam. Makna penting itu jika diurai tentu akan memanjang. Isra Mi’raj, bisa dimaknai dari sudut pergolakan dakwah Nabi, kebenaran doktrin Islam, perjumpaan dengan para Nabi dan lain sebagainya. Tapi yang jelas, kisah-kisah serupa itu mengarahkan pengetahuan dan kesadaran umat beragama akan narasi besar yang memperkukuh dinamika umat untuk menyaksikan kehadiran Yang Mutlak (Allah). Ini penting, setidaknya demi membendung tergelincirnya sejarah ketuhanan dan Agama dari sekadar sejarah dunia yang biasa dan profan.
Disamping itu pula, mirajnya seorang mukmin bukanlah sebuah upaya pendakian spiritual untuk berpaling dari tanggung jawab kemanusiaan, melainkan justru agar terjalin kontak antara kehendak suci di langit dan orientasi manusia di bumi. Shalat dan dzikir bisa dilihat sebagai institusi iman dimana sebuah keyakinan dan orientasi keilahian diterjemahkan dikaitkan dengan orientasi praksis untuk menciptakan salam (perdamaian) diantara sesama manusia. Dengan kata lain, rentangan spektrum Ilahi di satu sisi dan spektrum kemanusiaan disisi yang lain secara metafisis tidaklah tepat jika diletakan dalam perspektif ruang sebagaimana ruang yang kita fahami dalam hidup keseharian. Tetapi keduanya menyatu dalam sebuah kesadaran, sehingga bagi seorang mukmin perilaku kemanusiaan-nya hendaknya memuat kualitas Ilahi, dan kehangatan dalam bertuhan hendaknya terefleksikan dalam perilaku kemanusiaanya.
Sementara itu menurut tradisi islam, Isra dan Mi’raj terjadi selama priode Makkah yang terahir dari kehidupan Muhammad, tidak lama sebelum hijrah ke Madinah, yang biasa diperingati pada tangal 27 rajab, bulan ke tujuh hijiriyah. Di daerah kasmir (India), biasanya memperingati Mi’raj selama satu mingu dengan memperbanyak bacaan bacaan yang memuji Nabi mengagungkan namanya. Di Turki, malam Mi’raj di perlakukan sama dengan malam kelahiran Nabi, sebagai malam yang penuh dengan berkah dan biasanya malam-malam itu masjid di hiasi dengan lampu-lampu dan diramaikan puji-pujian.
Dalam peristiwa ini di samping Nabi melihat tentang kebesaran-kebesaran Allah, juga diperlihatkannya surga beserta panoramanya dan peristiwa-peristiwa yang lain yang menakjubkan. Berbagai fenomena yang ditemui oleh Nabi saat melakukan wisata religius begitu banyak yang amat mengerikan, seperti bibir dan lidah yang terus tergunting yang mencerminkan hukuman bagi orang-orang yang selalu menyebarkan fitnah. Wajah dan dada yang terus tercakar sebagai gambaran bagi mereka yang suka menindas. Orang-orang terus berenang di kolam nanah dan darah lalu terus dilempari batu, sebagai gambaran siksaan bagi orang-orang yang korupsi dan makan harta riba. Semua amatlah penting untuk dijadikan sebagai referensi renungan di tengah gelombang kehidupan yang semakin runyam dan begitu dahsyat.
Di samping itu juga agar manusia tidak melakukan tindakan-tindakan yang sewenang-wenang. Juga agar manusia tidak melangsungkan hidupnya di dunia yang hanya mengikuti zaman yang carut-marut, akan tetapi manusia diharapkan hidup dan beraktivitas dengan bahasa langit seperti orang-orang suci, para Nabi, sahabat dan ulama bahkan menyatu dengan Tuhan. Dengan hidup yang dihiasi dengan kesempurnaan bahasa langit dan bumi akan mendapatkan kesempurnaan dalam hidupnya.
Di samping itu Isra juga merupakan simbol perjalanan hidup Manusia, isra adalah perjalanan mendatar (Horizontal) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina. Hal ini mengisyaratkan proses pertumbuhan yang bersifat kuantitatif. Mi'raj adalah perjalanan naik (Vertikal) dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha mengisyaratkan adanya proses kualitatif. Manusia makhluk Allah yang paling sempurna, memahami hidup ini untuk menjalani proses pertumbuhan dan perkembangan.
Proses perkembangan lebih menekankan pada mental yang bersifat nilai bukan materi. Proses ini lebih berbicara tentang kualitas hidup manusia misalnya, bodoh menjadi pandai, dari hina menjadi mulia, dari terlaknat menjadi terhormat, dari maksiat menjadi taat. Kemudian proses yang bersifat kuantitatif, dari mulai kecil kemudian besar, sedikit menjadi banyak. Kedua proses yang tidak bisa di pisahkan ini menjadi pembeda antara manusia dan makhluk biologis lainnya. Proses perkembangan adalah proses yang khas pada diri manusia, sebab tidak terjadi pada binatang bahkan Malaikat sekalipun. Sedangkan proses pertumbuhan terjadi pada semua makhluk biologis.
Dalam proses perjalanan Mi'raj kita diingatkan pada tiga titik, atau tiga tempat yang paling penting yaitu, Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Sidratul Muntaha. Hal ini mengingatkan juga pada tiga peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia, yaitu kelahiran, kematian, dan kebangkitan. Dengan kata lain, bahwa hidup bagi manusia adalah proses dinamis, proses ke masa depan, maka perjuangan Isra Mi'raj adalah isyarat bagaimana manusia menatap masa depan dan mengabdikan diri pada Allah.
Dalam peristiwa ini yang termuat dalam hikmah-hikmah Isra Mi’raj yang dapat dipetik dari momen-momen simbolik peristiwa itu adalah:
Satu, kita menemukan, bahwa sejarah mencatat prosesi pembedahan dada Nabi sewaktu Isra Mi’raj. Dari peristiwa itu, kita menangkap simbol pelapangan dada, penyucian hati, penajaman nurani. Lebih spesifik lagi, pembedahan itu beresensi persiapan untuk bermunajat dengan yang Maha Tinggi dan Maha Suci.
Dua, kelapangan dada, kerendahan hati dan ketajaman nurani sebagaimana yang dipraktekkan Nabi, terlihat sangat penting dalam misi-misi profetik dan sosial demi mereformasi tatanan yang tidak ideal. Fungsinya, sebagaimana yang ditegaskan Al-Qur'an, dapat meringankan beban (psikis), mengangkat citra, dan menumbuhkan optimisme, bahwa di balik kesengsaraan ada jalan keluar (QS. Al-Insyirah: 1-6).
Tiga, Isra Mi’raj juga mengandaikan adanya dorongan untuk belajar dari pengalaman orang lain. Perjumpaan dan dialog antara Nabi Muhammad dengan Nabi-Nabi seniornya, soal-jawabnya kepada Jibril (sebagai mana tertulis diatas), menandakan bahwa reformasi menuntut kerendahan hati untuk belajar dari banyak kisah gagal dan sukses orang lain.
Empat, sebatas yang kita amati, spiritualitas atau perasaan bahwa adanya kontrol yang Maha Tahu atas aktivitas kita, menjadi penting tatkala sistim-sistim yang kita reformasi tidak berjalan dengan ruh yang kita idealkan. Wisata spiritual Nabi dalam Isra Mi’raj, menunjukkan bahwa spiritualitas sangat penting untuk menuntaskan misi dan visi reformasi. Sebuah falsafah moralitas mengingatkan kita, bahwa “Innama al-umam al-akhlaq ma baqiyat, fain hum dzahabat akhlaquhum dzahaba” (suatu komunitas akan kekal bersama moralitas; bila moralitasnya hancur, raiblah mereka bersamanya). Wallahu a`lam bi as-showab
Deni Sutan Bahtiar
Penulis Buku-Buku Islam
denisb29@ymail.com